Oleh:
Firmansyah
Apa yang terbersit dalam benak anda
ketika mendengar “udlhiyah”? Mungkin kata ini masih asing
di telinga sebagian kita. Sebab, memang kita belum terbiasa menggunakan kata
tersebut dalam keseharian. Berbeda ketika disebutkan kata hewan qurban. Benak
kita langsung terbayang penyembelihan hewan setelah shalat id Adha.
Sebenarnya kata udlhiyah memiliki
makna hewan qurban. Dus, syariat udlhiyah adalah penyembelihan hewan qurban
yang dilakukan setiap tanggal 10 Dzhulhijjah. Syariat yang selayaknya
dilaksanakan setiap muslim yang memiliki kelapangan rejeki.
Hal ini dikarenakan, pada hari itu
tidak ada amal yang lebih baik kecuali menyembelih. Sebagaimana disabdakan oleh
rasulullah saw:
“Tak ada amalan yang paling dicintai
oleh Allah pada hari Idul Adha daripada memotong hewan qurban. Sesungguhnya
hewan qurban itu akan hadir pada hari kiamat (sebagai bukti amal pelakunya)
lengkap dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya qurban tersebut akan
sampai di sisi Allah sebelum darahnya menyentuh bumi.”
Mencoba menelisik lebih jauh lagi,
akan kita dapati bahwa syariat udlhiyah merupakan syariat sejak masa nabi
Ibrahim. Lebih tepatnya ketika beliau diperintahkan Allah untuk menyembelih
putranya sendiri lewat mimpi. Sebagaimana firman Allah:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا
تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ
الصَّابِرِينَ (102)
“Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. Ash Shoffat: 102)
Dalam tafsir Ath Thobari dikisahkan
ketika nabi Ibrahim mendapatkan perintah tersebut, beliau bertanya kepada
putranya Ishaq. Ishaq pun menjawab “Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar. Kemudian berkata: wahai ayahku, kencangkanlah ikatanku sehingga aku
tidak dapat bergerak. Dan jagalah bajumu dari tubuhku sehingga tidak terkena
percikan darahku sebab apabila Ibunda Sarah melihatnya maka dia akan sedih. Dan
percepatlah pisaumu ketika menyembelihku sehingga mempermudah kematianku.
Apabila engkau bertemu dengan Ibunda Sarah maka sampaikan salam dariku. Maka
Ibrahim menghadap Ishaq dan menciumnya dalam keadaan terikat dan menangis.
Ishaq pun juga menangis. Sehingga air mata pun jatuh ke pipi Ishaq. Maka Ibrahim
pun menarik pisau untuk menyembelih Ishaq. Tatkala keduanya telah berserah
diri, Allah menyeru nabi Ibrahim dan berfirman: “Sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu”. Maka Allah pun menggantinya dengan sembelihan yang
besar”.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mimpi
nabi merupakan wahyu baginya. Karenanya, setelah mendapatkan mimpi selama tiga
hari berturut-turut beliaupun berniat melaksanakannya. Dan para ahli tafsir
berbeda pendapat siapakah yang disembelih dalam mimpi nabi Ibrahim tersebut.
Terlepas dari perselisihan siapakah
yang disembelih antara Nabi Ishaq ataukah nabi Ismail, banyak sekali hikmah
yang dapat kita ambil dari kisah tersebut. Bagaimana seorang ayah sekaligus
seorang nabi yang diuji untuk menyembelih putranya sendiri. Bagaimana beliau yang
diuji dengan tidak memiliki putra sampai usia senja.
Putra yang sekian lama
ditunggu-tunggu kelahirannya. Namun setelah mendapatkan putra dengan penantian
sekian panjang dan putranya sudah memasuki usia yang dapat diajak bekerja,
beliau diperintahkan untuk menyembelihnya. Sebuah ujian yang tentu tidak akan
mudah dilakukan kecuali oleh yang dikehendaki Allah SWT.
Setidaknya ada beberapa hikmah yang
dapat dijadikan renungan dan intorpeksi bagi diri kita.
[1] Keteguhan Iman Nabi Ibrahim
Sebagai seorang ayah, tentu beliau
memiliki rasa cinta yang begitu mendalam terhadap putranya. Bahkan beliau
sangat bersyukur telah dikarunia Ismail dan Ishaq. Namun kecintaan dan rasa
syukur tersebut tidak menghalanginya untuk menghindar atau meninggalkan
perintah tersebut.
Beliau tetap teguh dengan
keimanannya. Maka tidak salah apabila keteguhan iman Nabi Ibrahim untuk
menjalankan perintah yang diberikan Allah SWT merupakan contoh kepatuhan yang
luar biasa. Bagaimana Nabi Ibrahim mendahulukan titah ilahi yang diwahyukan kepadanya
daripada kecintaanya kepada putra beliau.
Beliau telah membenarkan perintah
Allah untuk menyembelih anaknya. Pun, beliau tidak pernah mempersoalkan
perintah yang nampak tidak masuk akal itu dan tidak pernah meragukannya. Beliau
lebih mendahulukan perintah Allah daripada memikirkan akalnya.
Maka, sebagai gantinya, Allah
menyelamatkan putra beliau dan mengabadikan kisah tersebut dalam al-Qur’an agar
dapat dijadikan pelajaran bagi umat yang datang kemudian.
Teladan yang lain dari Nabi Ibrahim
tidak hanya dalam melaksanakan perintah Allah tetapi juga dalam
kebijaksanaannya menyampaikan perintah itu kepada anaknya yg sangat
dicintainya. Beliau tidak langsung mengambilnya tiba-tiba dan tidak pula
mencari kelengahannya. Tetapi, perintah Allah tersebut disampaikannya dengan
transparan dan dialog serta penuh argumentasi Ilahiah.
[2] Kesediaan seorang anak dalam
mengejawantahkan perintah Rabbnya
Hikmah kedua yang dapat diambil
adalah kesediaan seorang anak dalam melaksanakan perintah Allah, walaupun hal
tersebut berkaitan dengan hidupnya. Bagaimana seorang anak mematuhi perintah
Rabbnya yang diwahyukan melalui mimpi dan lesan ayahandanya.
Bagaimana seorang anak yang beranjak
usia remaja dan karena panggilan iman dia rela mengorbankan nyawanya karena
Allah. Hal ini sebagaimana dikisahkan ketika nabi Ibrahim menyampaikan
kepadanya perintah Allah untuk menyembelihnya, putranya pun menjawab (QS 37:
102): Ya abatif’al ma tu’maru satajiduni insya Allahu minashshabirin.
(”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.) Subhanallah,
andaikan perintah itu disampaikan kepada anak muda jaman sekarang mungkin
ayahnya sudah dituduh gila.
Putra beliau adalah anak yang patuh
dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisinya sebagai anak. Ia tidak
membangkang dan tidak bimbang. Justru putra beliau memberikan jawaban yg
memancarkan keimanan, tawaddu, dan tawakkal kepada Allah.
Hanya orang-orang yang mempunyai
keimanan dengan landasan tauhid yang kuat yang rela mengorbankan nyawanya
karena Allah. Sikap seperti inilah yang mestinya diteladani oleh setiap orang
beriman.
Selain hikmah yang terkandung dalam
syariat udlhiyah di atas, terdapat pelajaran lain yang dapat kita ambil dari
ibadah udlhiyah ini.
[1] Secara Vertical (حَبْلٌ مِّنَ
اللهِ/ hablumminallah)
Secara vertical berarti ini
menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah atas semua nikmat yang telah
diberikan kepada kita. Serta melahirkan kesadaran bahwa semua nikmat itu
merupakan karunia Allah. Selain itu, ibadah udlhiyah dapat menjadi tolok ukur
ketakwaan dan keimanan seseorang.
Semakin tinggi ketakwaan seseorang,
maka semakin mudah dan semakin besar keinginannya untuk melaksanakan
syariat udlhiyah. Begitu pula kebalikannya, semakin rendah keimanan
seseorang, maka semakin enggan dirinya untuk mengeluarkan hartanya dalam rangka
melaksanakan syariat udlhiyah.
[2] Secara Horizontal (حَبْلٌ مِّنَ
النَّاسِ / hablumminannas)
Ditinjau dari segi horizontal maka
kita akan melihat sisi hablumminannas. Bagaimana syariat udlhiyah mengajarkan
kita agar memelihara rasa solidaritas dan sosial dengan orang-orang di sekitar
kita.
Ketika seseorang menyembelih hewan
qurban, maka tidak semuanya akan dimakan sendiri. Akan tetapi sebagian
dagingnya bagi diri dan keluarganya sedangkan yang lainnya akan dibagi.
Ikhtitam
Begitu banyak hikmah dan pelajaran
dalam syariat udlhiyah, tentunya sebagai seorang muslim harus memiliki semangat
yang tinggi dalam melaksanakan syariat ini. Bahkan untuk menghasung umatnya
dalam ber-udlhiyah rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ
يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang siapa yang memiliki
kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati
tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Iid).” (Hadits hasan, Shahih Ibnu Majah
3114)
Begitu kerasnya peringatan
rasulullah SAW, tidak lain dan tidak bukan kecuali untuk menyadarkan mereka
yang memiliki kelapangan namun enggan melaksanakan syariat ini.
Lantas, bagaimana yang tidak
memiliki kemampuan? Bagi yang belum mampu melaksanakan udlhiyah, hendaknya
mulai sekarang menancapkan niat untuk ber-udlhiyah tahun dengan dengan disertai
usaha keras dengan menabung sedikit demi sedikit. Semoga dengan niat ikhlas
disertai usaha keras, Allah mengabulkan niatan kita. Bukan tidak mungkin mimpi
hari ini menjadi kenyataan esok hari. Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar