(Hukum
Seputar Menjual Kulit Udhhiyah)
Oleh:
Tengku Azhar
Sebahagian kaum muslimin pada hari
raya Idul Adha masih banyak yang bingung kalau tidak disebut masih banyak yang
keliru terhadap kulit udhiyah. Di antara mereka ada yang menjual kulit udhiyah
(baik sapi atau kambing) dan kemudian uangnya dibelikan seekor kambing untuk
dimakan bersama seluruh panitia, ada juga yang menjualnya kemudian uangnya
dibelikan berbagai sarana panitia dalam pelaksanaan udhiyah selama Idul Adha
dan hari-hari Tasyriq.
Hukum Menjul Kulit Udhiyah
Tidak boleh hukumnya menjual kulit
hewan udhiyah. Demikianlah pendapat jumhur ulama tiga mazhab; Imam Maliki,
Syafi’i, dan Ahmad. (Lih: Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/352; Qadhi Shafad,
Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 85).
Hukum ini berlaku bagi orang yang
berudhiyah (al-mudhahhi) dan juga berlaku bagi siapa saja yang mewakili
orang yang berudhiyah, misalnya takmir masjid atau panitia udhiyah pada suatu
instansi.
Dalil haramnya menjual kulit udhiyah
ada dua, yaitu hadis-hadis Nabi SAW yang melarang menjual kulit udhiyah, dan
hukum syar’i bahwa status kepemilikan kambing udhiyah telah lenyap dari orang
yang berudhiyah pada saat udhiyah disembelih.
Hadits-hadits Nabi SAW itu di
antaranya :
1. Dari Ali bin Abi Thalib RA, dia
berkata, “Rasulullah SAW telah memerintahkan aku mengurusi unta-unta beliau
(hadyu) dan membagikan daging-dagingnya, kulit-kulitnya…untuk kaum miskin. Nabi
memerintahkanku pula untuk tidak memberikan sesuatu pun darinya bagi
penyembelihnya/jagal (sebagai upah).” (Muttafaq ‘alaihi) (Lih: Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/95)
Dalam riwayat lain Ali bin Abi
Thalib berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau,
menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan
sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda: “Kami
akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no. 348,
1317]
Dari hadits di atas, Imam
Asy-Syirazi mengatakan, “Tidak boleh menjual sesuatu dari hadyu dan udhiyah,
baik udhiyah yang wajib (nadzar) atau udhiyah yang sunnah.” (Imam Asy-Syirazi,
Al-Muhadzdzab, I/240)
2. Dari Abu Hurairah RA, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menjual kulit udhiyahnya, maka tidak ada
(pahala) udhiyah baginya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi). Hadits ini sahih
menurut Imam Suyuthi. Lih: Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/167)
Dari hadits ini para ulama
menyimpulkan haramnya bagi orang yang berudhiyah untuk menjual kulit
udhiyahnya. (Lih: Syaikh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, II/179, Syaikh
Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/28)
Adapun dalil kedua, berupa hukum
syara’ tentang status kepemilikan kambing udhiyah. Pada saat disembelih,
hilanglah kepemilikan udhiyah dari orang yang berudhiyah. Maka dari itu, jika
orang yang berudhiyah atau wakilnya menjual kulit udhiyah, sama saja dia
menjual sesuatu yang bukan miliknya lagi. Ini jelas tidak boleh.
Dalam masalah ini Imam Asy-Syirazi
berkata, “Ketidakbolehan menjual kulit udhiyah juga dikarenakan hadyu atau
udhiyah itu telah keluar dari kepemilikan orang yang berudhiyah sebagai
taqarrub kepada Allah, maka tidak boleh ada yang kembali kepadanya kecuali apa
yang dibolehkan sebagai rukhsah yaitu dimakan.” (Imam Asy-Syirazi,
Al-Muhadzdzab, I/240; As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/333)
Jadi, jelaslah bahwa menjual kulit
udhiyah itu haram hukumnya. Haram pula menjadikan kulit udhiyah sebagai upah
kepada jagal (penyembelih) udhiyah.
Lalu kulit udhiyah itu akan
diapakan? Kulit udhiyah itu dapat disedekahkan oleh al-mudhahhi (shahibul
udhiyah) kepada fakir dan miskin. (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
II/242). Inilah yang afdhal (utama). Jadi perlakuan pada kulit udhiyah sama
dengan bagian-bagian hewan udhiyah lainnya (yang berupa daging), yakni
disedekahkan kepada fakir dan miskin. Dalilnya adalah hadits shahih dari Ali
bin Abi Thalib RA di atas.
Boleh pula kulit udhiyah itu
dimanfaatkan oleh orang yang berudhiyah, misalnya dibuat sandal, khuf
(semacam sepatu), atau timba.
Dalilnya adalah hadits Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa orang-orang
Arab Badui pernah datang berombongan minta daging udhiyah pada saat Idul Adha.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu bersabda, “Simpanlah sepertiga
dan sedekahkanlah sisanya.” Setelah itu ada yang berkata kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasululah sesungguhnya orang-orang biasa
memanfaatkan udhiyah-udhiyah mereka, mereka membuat lemak darinya, dan membuat
wadah-wadah penampung air darinya.” Rasulullah menjawab, “Apa masalahnya?”
Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, Anda telah melarang menyimpan daging-daging
udhiyah lebih dari tiga hari.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawab, “Sesungguhnya aku melarang hal itu karena adanya orang Baduwi yang
datang berombongan minta daging udhiyah (min ajli ad-daafah). (Sekarang)
makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah.” (HR. Tirmidzi, Imam Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, IV/97; Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240). Hadits ini
menunjukkan bolehnya memanfaatkan kulit udhiyah misalnya untuk dijadikan
wadah-wadah penampung air dan sebagainya. (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab,
I/240)
Memang ada sebagian ulama yang membolehkan
menjual kulit udhiyah. Menurut Imam Abu Hanifah, boleh menjual kulit udhiyah
tapi bukan dengan dinar dan dirham (uang). Maksudnya, boleh menjual kulit
udhiyah dengan menukarkan kulit itu dengan suatu barang dagangan (al-‘uruudh).
(Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/97, Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul
Akhyar, II/242). Menurut Imam An-Nakha’i dan Imam Al-Auza’i, boleh menjual
kulit udhiyah dengan peralatan rumah tangga yang bisa dipinjamkan, misalnya
kapak, timbangan, dan bejana. Menurut Imam ‘Atha` (tabi’in), tidak apa-apa
menjual kulit udhiyah baik dengan dirham (uang) maupun dengan selain dirham.
(Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 85)
Dalil ulama yang membolehkan menjual
kulit udhiyah, adalah hadits yang membolehkan memanfaatkan (intifa’) udhiyah,
yaitu hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Dalam pandangan Imam Abu Hanifah, atas dasar hadits itu, boleh melakukan
pertukaran (mu’awadhah) kulit udhiyah asalkan ditukar dengan barang dagangan (al-‘uruudh),
bukan dengan uang (dinar dan dirham). Sebab pertukaran kulit udhiyah dengan
barang dagangan termasuk dalam pemanfaatan udhiyah (intifa’) yang dibolehkan
hadits menurut semua ulama secara ijma’. (Lih: Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
I/352, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/95)
Pendapat ulama yang membolehkan
menjual kulit udhiyah itu adalah pendapat yang lemah, berdasarkan dua hujjah
berikut :
Pertama, telah terdapat nash hadits sahih yang melarang menjual
belikan kulit udhiyah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa menjual kulit udhiyahnya, maka tidak ada (pahala) udhiyah
baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Haramnya (larangan) menjual kulit
udhiyah dalam hadits di atas bersifat umum, artinya mencakup segala bentuk jual
beli kulit udhiyah. Baik menukar kulit dengan uang, maupun menukar kulit dengan
selain uang (misalnya dengan daging). Semuanya termasuk jual beli, sebab jual
beli adalah menukarkan harta dengan harta (mubadalatu maalin bi maalin). Maka
penukaran kulit udhiyah dengan selain dinar dan dirham (uang), misalnya kulit
udhiyah ditukar dengan daging, tetap termasuk jual beli juga.
Perlu diketahui, bahwa ditinjau dari
objek dagangan (apa yang diperdagangkan), jual beli ada tiga macam :
1. Jual beli umum, yaitu menukar
uang dengan barang.
2. Jual beli Ash-Sharf (money
changing), yaitu menukar uang dengan uang.
3. Jual beli Al-Muqayadhah (barter),
yaitu menukar barang dengan barang. (Lihat Abdullah Al-Mushlih dan Shalah
Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah Abu Umar Basyir,Jakarta:
Darul Haq, 2004, hal. 90)
Atas dasar itu, keharaman menjual
kulit ini mencakup segala bentuk tukar menukar kulit, termasuk menukar kulit
dengan barang dagangan. Sebab hal ini tergolong jual beli juga, yakni apa yang
dalam istilah fiqih disebut al-muqayadhah (barter(.
Kedua, tidak dapat diterima membolehkan jual beli kulit dengan
hujjah hadits Aisyah tentang bolehnya memanfaatkan (intifa’) udhiyah
Sebab kendatipun hadits Aisyah itu
bermakna umum, yaitu membolehkan pemanfaatan udhiyah dalam segala bentuknya
secara umum, tapi keumumannya telah dikhususkan (ditakhsis) dengan hadits yang
mengharamkan pemanfaatan dalam bentuk jual beli (hadits Abu Hurairah). Kaidah
ushul fiqih menyatakan :
Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umuumihi maa
lam yarid dalil al-takhsis
“Dalil umum tetap berlaku umum,
selama tidak terdapat dalil yang mengkhusukannya (mengecualikannya(.”
Atas dasar itu, menukar kulit dengan
barang dagangan tidak termasuk lagi dalam pemanfaatan kulit yang hukumnya
boleh, sebab sudah dikecualikan dengan hadits yang mengharamkan jual beli
kulit.
Kesimpulannya, menjual kulit
udhiyah hukumnya adalah haram, termasuk menukar kulit dengan daging untuk
disedekahkan kepada fakir miskin. Inilah pendapat yang kami anggap rajih
(kuat), sesuai hadits Nabi SAW yang sahih, “Barangsiapa menjual kulit
udhiyahnya, maka tidak ada (pahala) udhiyah baginya.” (HR Al-Hakim dan
Al-Baihaqi(.
Perkataan Para Ulama
[1]. Imama Asy-Syafi’i rahimahullah
berkata: “Jika seseorang telah menetapkan binatang udhiyah, wolnya tidak dicukur.
Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai udhiyah, dia boleh
mencukur wolnya. Binatang udhiyah termasuk nusuk (binatang yang disembelih
untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan
(kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian)
binatang udhiyah, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya.
Menukarkannya merupakan jual beli.”
Beliau juga mengatakan: “Aku tidak
mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu: Barangsiapa telah
menjual sesuatu dari binatang udhiyahnya, baik kulit atau lainnya, dia (harus)
mengembalikan harganya –atau nilai apa yang telah dia jual, jika nilainya labih
banyak dari harganya- untuk apa yang binatang udhiyah dibolehkan untuknya.
Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai, sebagaimana
bershadaqah dengan daging binatang udhiyah lebih aku sukai”
[2]. Imam Nawawi rahimahullah
berkata: “Dan madzhab (pendapat) kami (Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit
hadyu atau udhiyah, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari
bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakha’i,
Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar,
Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan
harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakha’i
dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan, kapak,
timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya, -pent), Al-Hasan
Al-Bashri mengatakan; “Kulitnya boleh diberikan kepada tukang jagalnya’. Tetapi
(perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu a’lam. [Lihat Syarah Muslim
5/74-75, Penerbit Darul HaditsCairo]
[3]. Imam Ash-Shan’ani rahimahullah
berkata: “Ini (hadits Ali di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah
dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan
daging. Dan Ali tidak sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai
upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia
(tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum udhiyah sama dengan
hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun dari
binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis Nihayatul Mujtahid berkata:
“Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual dagingnya”. Tetapi
mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur
(mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh
menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan
barang-barang. Atha’ berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya” Abu
Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang
bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan (binatang
sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan dengannya’.
[Lihat Subulus Salam, 4/95, Syarah Hadits Ali]
[4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Bassam mengatakan: “Di antara faidah hadits ini menunjukkan, bahwa kulit
binatang udhiyah tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah seperti
dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau
menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin. [Lihat Taudhihul Ahkam
Min Bulughul Maram 6/70]
Beliau juga berkata: “Para ulama
sepakat tidak boleh menjual daging udhiyah atau hadyu (hewan yang disembelih
oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh
menjual kulit binatang udhiyah, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan
rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya,
rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan uang,
karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata” [Lihat Taudhihul
Ahkam Min Bulughul Maram, 6/71]
Adapun bagi orang yang mendapatkan
(bagian) daging (atau kulit) udhiyah/mustahiq maka dia berhak untuk
melakukan apa saja terhadap daging/kulit udhiyah yang diperolehnya, termasuk
menjualnya.
Solusi permasalahan kulit udlhiyah:
Lembaga sosial atau orang di luar
panitia udlhiyah, berinisiatif meminta kulit-kulit binatang udlhiyah dari
panitia di tempat penyembelihan (di sini lembaga/orang tersebut mewakili
penerima kulit) kemudian menjualnya. Selanjutnya hasil dari
penjualan tersebut dibagikan kepada sejumlah orang miskin di sekitar situ.
Menurut kami, ini adalah upaya yang
lebih menentramkan, karena orang yang menjual kulit betul-betul mewakili para
penerima dan bukan dari panitia penyembelihan. Dengan demikian tidak ada
fungsi ganda dalam masalah kulit ini, di satu sisi ia bertindak selaku panitia
udlhiyah (wakil mudlohhi), tapi di sisi lain ia menjual kulit sebagai wakil
dari penerima kulit.
Wallahu A`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar