Membongkar Kesesatan Ingkar Sunnah [bagian pertama]
Kelompok Ingkar Sunnah [terkadang juga
menggunkan nama Ingkar Hadits, Pengajian Qur’ani atau istilah yang
semakna-red] adalah salah satu istilah atau nama lain dari satu aliran
di Indonesia yang mengaku Islam. Inti dari ajaran kelompok ini adalah
meyakini Islam hanya berpegang dengan Al Qur’an saja dan menolak Hadits
Sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , sejak semula
kemunculannya- sekitar tahun 1980-an- aliran ini telah banyak
menimbulkan keresahan karena menyebarkan pemikiran sesatnya ke tengah
umat baik di Indonesia maupun negeri muslimin lainnya. Guna membantah
pemikiran sesat ini kami nukilkan terjemah dari kitab Dirasat fi Al
Firaq : Al Qur’aniyyun Wa Syubhatuhum Haula As Sunnah – dengan tambahan
dari beberap kitab lainnya- yang membongkar kesesatan Aliran Quraniyyun
yang pada awalnya muncul dan berkembang di Pakistan, India dan
sekitarnya, termasuk di Indonesia, [bahkan aliran sesat ini kembali
merebak diantaranya melalui jaringan internet dan milis-milis bernuansa
Islam -red ] namun ini sesungguhnya penipuan yang dilakukan oleh kaum
sesat Ingkar Sunnah. Inilah bantahan terhadap syubhat sesat mereka.
Syubhat pertama:
tersimpulkan dalam perkataan mereka :
“
Cukuplah bagi kami Kitabulloh (saja) karena didalamnya telah disebutkan
semua urusan agama beserta penjelasan dan perinciannya, sehingga kaum
muslimin tidak perlu lagi sunnah sebagai sumber syariat dan tidak perlu
lagi mengambil hukum-hukum darinya.” Ungkapan ini seperti diucapkan oleh
Abdulloh bin Abdullah Al Jakrawali- berasal dari Punjab, Pakistan, yang
merupakan salahs atu tokoh aliran Quraniyyun yang mengingkari Sunnah
secara total !. pernyataan yang semakna banyak disebutkan oleh pengikut
aliran ini.
Bantahan
Tidaklah disangkal
kalau Al Qur’an meilputi seluruh pokok-pokok syariat dan menyebutkan
sebagian perkara rinci-meskipun jumlahnya sedikit-. Adapun tuduhan
mereka bahwa Al Qur’an menyebutkan seluruh perkara kecil mapun besar,
maka itu merupakan kedustaan terhadap Al Qur’an yang tidak bisa diterima
dalam kenyataan didalam Al Qur’an. Kalau benar perkataan mereka maka,
dimana letak keterangan jumlah sholat fardlu yang lima waktu sehari
semalam serta jumlah rekaat masing-masingnya, mana pula nishob (batas
kewajiban terendah dalam zakat ) zakat kambing, sapi, unta, emas perak,
ini sebagai contoh, justru perkara yang semacam ini telah dilimpahkan
kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam untuk menjelaskannya tentu
saja dengan petunjuk dari Alloh Azza wa Jalla . kalau Al Quran telah
mencakup segala perincian dan detail yang dibutuhkan dalam urusan agama
sebagaimana yang mereka nyatakan, niscaya Alloh Azza wa Jalla tidak
memerintahkan RosulNya untuk menjelaskannya kepda manusia dan tidak pula
memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam agar melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang
dilarangnya.
Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla tidak
menyebutkan dalam Al Quran bagian-bagian terperinci dari syariat,
tetapi Alloh Azza wa Jalla menjelaskan dalam kitabNya prinsip-prinsip,
sember-sumber (pokok), kaidah-kaidah, dan dasar-dasar yang bersifat
umum. Dan diantara prinsip-prinsip yang Alloh Azza wa Jalla jelaskan
adalah (kewajiban) mengamalkan Sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam , sebagaimana dalam firmanNya,
“Apa yang diberikan Rosululloh kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [QS Al Hasyr 7].
Mungkin yang menyebabkan mereka terjatuh kedalam syubhat ini adalah kesalahpahaman mereka terhadap firman Nya,
“Akan tetapi, (Al Qur’an) membenakan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu.” [QS Yusuf 111].
Mereka memahami makna kata “ Tafshiil”
dalam ayat surat Yusuf ini dengan bahasa (daerah) mereka – yakni bahasa
Urdu [bahasa yang digunakan oleh bangsa India, Pakistan dan
sekitarnya]- yang berati ‘penetapan bagian-bagian rinci’. Padahal dalam bahasa arab makan tafshiil adalah”penjelasan dan penerangan’.
Maka, menerapkan makna menurut bahasa urdu ke dalam makna bahasa ayat
untuk menafsirkan/memahami Al Quran merupakan kesalahan fatal yang
menjatuhkan mereka kedalam penyimpangan.
Para Ahli tafsir
menjelaskan bahwa makna “tafshiil kulli syaiin” pada ayat diatas
bermakna “ (berisi) penjelasan dan penyebutan pokok-pokok syariat”
Berkata Imam Ath Thabari -rahimahullah- ,”Ia juga (berarti) penjelasan
segala yang dibutuhkan oleh hamba berupa penjelasan tentang perintah
Alloh Azza wa Jalla , laranganNya, halal dan haram serta ketaatan dan
ketundukan.” [lihat Tafsir Ath Thabari XIII/91]
Imam Asy
Syaukani -rahimahullah- berkata,” yang dimaksud ayat tersebut bukanlah
perkara-perkara umum, akan tetapi maksudnya adalah pokok-pokok dan
undang-undang dsar (hukum agama)” [lihat Fathul Qodir III/61]
Sehingga
jelaslah bahwa pengertian dan makna “Tafshiil” (yang berarti
menjelaskan) maksudnya adalah kesempurnaan Al Qur’an yang mengandung
semua pokok syariat, tanpa merinci bagian-bagian dengan menyebutkan yang
kecil dan yang besar dalam perkara dunia dan akherat.
Syubhat kedua:
Mereka
menyatakan bahwa “Sunnah bukanlah wahyu dari Alloh Azza wa Jalla ,
namun merupakan perkataan manusia yang dinisbatkan kepada Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam dengan cara penipuan dan pemalsuan, dimana
wahyu tidak memiliki campur tangan dalam hal kemunculan Sunnah tersebut
dari Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan bahwa tidak ada satupun
wahyu yang turun kepada beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
selain Al Qur’an.”
Abdulloh bin Abdulloah Al Jakralawi
berkata “ Sesungguhnya kita tidak diperintahkan kecuali untuk mengikuti
wahyu yang oAll turunkan. Seandainya kita anggap benar penisbatan
beberapa hadits kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dengan
jalur (periwayatan) yang pasti, maka betapa pun shahihnya penisbatan itu
tetap tidak diwajibkan untuk diikuti karena dia bukanlah wahyu yang
diturunkan dari Alloh Azza wa Jalla “
Bantahan
Alloh
Azza wa Jalla telah menyampaikan dan menjelasakan kepada makhlukNya
kedudukan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam menyampaikan
agamanya,
“Seandainya dia (Muhammad ) mengada-adakan
sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar kami pegang dia
pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong tali urat nadi
jantungnya, Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat
menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” [QS Al Haqah 44-47]
Ayat
ini menjelaskan bahwa seandainya Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
membuat-buat dan berdusta atas nama Alloh Azza wa Jalla –dan ini
mustahil dilakukan oleh Rosululloh- selain apa yang dikabarkan Allah,
sungguh keinginan itu sangat sulit untuk dilakukan pada saat itu.
Adalah suatu kebodohan berbuat seperti itu karena merupakan kekerasan
dan suatu yang menyakitkan yang tidak baik kesudahannya. Apakah
terbayang beliau mengeluarkan pernyataan halal, haram, taqyid, dan
tafshil dalam agama yang dibangun diatas hawa nafsu dan keinginan buruk
setelah adanya peringantan dan ancaman yang keras dari Alloh Azza wa
Jalla dalam ayat diatas kepada Nabi yang ummi (tidak membaca dan
menulis), apalagi beliau terkenal sebagai pribadi jujur dan terpercaya.
Maka
tidak ada aktifitas, sikap diam, dan ucapan Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam yang terkait dengan pensyariatan melainkan sesuai dengan
kehendak Alloh Azza wa Jalla . Tidak mungkin keluar dari beliau ucapan,
perbuatan dan diamnya dalam perkara yang berhubungan dengan agama
melainkan dengan adanya pengajaran dan penjelasan dari Alloh Azza wa
Jalla kepada beliau. Sementara tidak ada jalan menuju pengajaran
tersebut dan (tidak ada jalan pula) bagi makhluk untuk berhubungan
dengan penciptanya kecuali (melalui) wahyu dengan pemahaman yang benar
sesuai dengan Islam.
Seandainya memngamalkan Sunnah
tidaklah diridhai Allah, lantas mengapa terjadi kejayaan/masa keemasan
pada masa permulaan Islam dan mengapa Allah memuji nabiNya di dalam Al
Qur’an ,
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” [QS An Najm 3-4].
Al Qurthubi
menyatakan dalam tafsir ayat ini.”Ayat ini menunjukkan bahwa Sunnah
adalah wahyu yang diturunkan dari Alloh Azza wa Jalla .”[lihat Al Jami’
li ahkamil qur’an VII/6255]
Syubhat Ketiga
Menurut
mereka, mengikuti Sunnah dan melaksanakannya merupakan suatu kesyirikan
terhadap hukum Alloh Azza wa Jalla , Alloh Azza wa Jalla telah
melarangnya di dalam Al Qur’an, dalam firmanNya,” Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah.”.
Berkata si pendusta (Abdullah Al
Jakralawi),” Anjuran untuk mengikuti sumua ucapan, perbuatan, dan
ketetapan para Rasul –padahal sudah ada kitab Allah- merupakan penyakit
lama di masa lampau. Sungguh Alloh Azza wa Jalla telah membersihkan para
Rosul dan NabiNya dari hadits-hadits itu, bahkan Allah jadikan
hadits-hadits itu sebagai kekufuran dan kesyirikan.”
Bantahan :
Betapa
beraninya mereka terhadapa Alloh Azza wa Jalla dan terhadap Sunnah
Rosululloh Sholallahu ‘Alaihi Wassalam. Apakah para Rosul idutus untuk
menghidupkan (menyebarkan) kesyirikan atau bahkan memberantasnya ?.
Bukankah berhukum engan sunnah itu merupakan bentuk penerapan
hukum-hukum Al Qur’an. Alloh Azza wa Jalla berfirman,
“Maka
demi Rabb-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga sampai mereka
menjadikan kamu sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS
An Nisa’ 65].
Alloh Azza wa Jalla sendiri bersumpah dalah
ayat ini dengan Dzat-Nya,” seseorang tidak akan merasakan nikmatnya iman
selama dia tidak merasa ridha dengan keputusanmu, wahai Muhammad .
Kemudian orang-orang yang berhukum kepadamu tidak merasa berat dan
tertekan atas apa yang engkau putuskan terhadap mereka, justru mereka
wajib mentaatimu dan bersegera melaksanakan –keputusan- hukummu.”
Apakah
kemudian berhukum dengan hukum Alloh Azza wa Jalla dengan hukum yang
ditetapkan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam memutuskan dan
melerai pertikaian seperti yang Alloh Azza wa Jalla kabarkan-dalam
firmanNya- mengantar kepada kesyirikan ?. Justru, berhukum dengan hukum
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam merupakan (bentuk pengamalan)
tauhid dan penerapan hukum-hukum Alloh Azza wa Jalla , bahkan hukum
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah hukum Alloh Azza wa Jalla
juga.
Setelah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam wafat,
tibalah tahapan berhukum kepada sunnahnya karena berhukum kepada
sunnahnya sma dengan berhukum kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam sendiri (secara langsung). Menampakkan keridhaan terhadap
keputusan hukum sunnahnya , asma seperti ridha kepada hukumnya di saat
(beliau ) masih hidup. Dan kita tidak dapat menerapkan apa yang
diperintahkan di dalam ayat tersebut melainkan dengan cara yang telah
disebutkan diatas. Dengan demikian ayat tersebut mengisyaratkan perihal
berhukum dengan Sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam setelah
wafat beliau. Seandainya ayat diatas tidak menunjukkan (perintah)
berhukum kepada As Sunnah- sebagaimana yang mereka klaim- tentu
keberadaan kata “ berhukum kepadamu” tidaklah benar, demikian juga pada
kata “ yang kamu putuskan” (dalam firmanNya diatas. dan semestinya yang
kita dapatkan adalah lafadz kata “ sampai mereka berhukum kepada Al
Qur’an.” dan lafadz kata “ terhadap apa yang diputuskan Al Qur’an” atau
bentuk –bentuk ungkapan lain yang semakna.
Sedangkan dalil
mereka dengan ayat ,” Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” yang
mereka gunakan untuk mengeluarkan Sunnah dari hukum Allah adalah dalil
yang tidak sesuai pada tempatnya, karena ayat tersebut sebenarnya
terdapat di tiga tempat dalam Al Qur’an yakni : pertama , Surat Al
An’am: 57 : ayat ini berkaiatan dengan sebagai jawaban atas permintaan
orang-orang kafir yang meminta diturunkan ayat dengan segera, maka Alloh
Azza wa Jalla menurunkan ayat ini untuk menjelaskan bahwa kehendak
turunnya ayat hanya ada pada Allah bukan para RosulNya. Kedua; Surat
Yusuf :40, yang mengisahkan nasehat Nabi Yusuf Alaihisalam kepada dua
temannya dipenjara agar meninggalkan kesyirikan dan bahwa beribadah
kepada berhala merupakan kedustaan dan sikap mengada-ada terhadap Allah,
Ketiga Surat Yusuf :67, berisi kisah tentang nasehat Nabi Ya’qub
Alaihisalam kepada anak-anaknya bagaimana adab mendatangi raja, dan jika
ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa mereka, maka itu
adalah qodha dan qodar Allah dan bahwa itu adalah jalan yang ditempuh
oleh hamba-hamba yang saleh.
ketiga ayat tersebut tidak sama sekali menunjukkan apa yang merka katakan dan tidak ada hubungannya sama sekali.
Justru
kesyirikan ada pada mereka tatkala mereka menyatakan Sunnah Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam bukanlah wahyu dari Alloh Azza wa Jalla
karena mereka tunduk kepada ketetapan hawa nafsu dan akal kebodohan
mereka, sementara mereka menolak hukum Allah dalam kitabNya yang
mewajibkan ketaan kepada RosulNya dengan cara melaksanakan apa yang
Rosul perintahkan dan menjauhi apa yang dilarangnya. [lihat QS Ali Imron
:32, An Nisa 80, Al Hasyr 7].
Syubhat keempat.
Mereka
mengatakan,” bagi Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam Sunnah bukanlah
syariat, dan hal ini telah difahami oleh para sahabat. Karena itulah
mereka dilarang untuk menulisnya.”
Barwiz [yaitu Ghulam
Ahmad Barwiz bin Fadhluddin 1903 M, berasald ari Qodian, India bagian
timur. Salah satu penyebar pemahaman Inkar hadits], berkata,” Seandainya
dahulu Sunnah adalah bagian dari agama niscaya Alloh Azza wa Jalla
telah memperlakukannya sepeti memperlakukan Al Qur’an dalam hal
penulisan, penghafalan (penjagaan), dan pengulangan, Beliau tidak akan
meninggal dunia melainkan setelah selesai semua misi yang merupakan
bagian dari agama, karena keberadaan sebagai seorng nabi mengharuskan
untuk menyampaikan agama kepada umatnya dalam bentuk yang terjaga.
Beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menjaga Al Qur’an dengan
semua cara yang bisa dilakukan dan tidak melakukan sesuatupun untuk
sunnahnya, bahkan melarang untuk menuliskannya.
“
Janganlah kalian menuliskan dariku selain Al Qur’an. Barangsiapa menulis
sesuatu dariku selain Al Qur’an maka hendaknya dia menghapusnya.” [HR
Muslim 18/129-syarah An Nawawi]
Bantahan :
Kerancuan
(syubhat) mereka ini tidak dibangun diatas ilmu dan ma’rifat, melainkan
diatas kedengkian dan pengingkaran terhadap kebaikan. Sesungguhnya
sandaran mereka ini terputus dan tidak beralasan. Tidakkah mereka mau
melihat sebentar saja-untuk (kebaikan)mereka sendiri- dalam kitab-kitab
sunnah serta sejarah Islam, dan bagaimana semangat Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam mengajarkan dan memahamkan kepada para Shohabat
rodliallohu anhum tentang urusan-urusan agama mereka, baik dengan ucapan
maupun perbuatan. Kemudian kehidupan amaliah beliau merupakan pendorong
terbesar aagar kita berpegang dengan sunnahnya dan menerapkannya dalam
segala aspek kehidupan. Nabi Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
senantiasa memberikan petunjuk kepada para Shohabat rodliallohu anhum
dalam hal-hal yang mereka tanyakan dan (terkadang) menyelanginya dengan
nasehat/peringatan dari satu waktu ke waktu yang lainnya, baik dalam
setiap khutbh jumat, hari-hari raya, saat-saat penting, maupun
acara-acara terntentu. Sebagaimana kehidupan rumah tangga beliau
merupakan memori yang lain yang menukil Sunnah dalam kehidupan rumah
tangga beliau.
Seandainya Sunnah bagi Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam bukanlah syariat dan agama, tentulah
perhatian beliau tidak akan sedemikian besar terhadap Sunnah ini dan
tentu beliau tidak akan menempuh berbagai cara yang memungkinkan untuk
menyebarkannya pada waktu itu. Al Bukhori -rahimahullah- meriwayatkan
dalam hadits rombongan (utusan) Abdul Qois –-Rodliallohu anhu- setelah
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam memberi sambungan (yang baik) dan
mengajarkan beberapa perkara agama, beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam bersabda,
“Hafalkan (hal ini) dan khabarkanlah (ajarakanlah) kepada kaum kalian” [ HR Bukhori I/30].
Seandainya
kehidupan beliau bukanlah agama dan ucapannya bukanlah syariat tentulah
beliau tidak akan memerintahkan mereka untuk menghafalkan dan
menyampaikannya. Tidak akan ada perintah-perintah untuk mengikutinya
yang bersumber dari beliau, seperti dalam sabdanya,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.” [ HR Bukhori I/155].
Begitu pula hadits-hadits lainnya yang tidak meungkin disebutkan satu per satu.
Beliau
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam pun tidak akan pernah marah
manakala ada sedikit keberpalingan dari Sunnahnya. Beliau bersabda,
“Seandainya
aku mengetahui dari awal perkara apa yang akan terjadi kemudian tentu
aku tidak akan membawa al Hadyu (yakni-hewan kurban bagi yang menunaikan
haji tamattu atau qiran).” [HR Muslim IV/37]
Beliau tidak
akan memerintahkan seluruh sahabat untuk menyampaikan kepada yang tidak
hadir apa yang beliau sampaikan ketika haji wada’,
“Hendaknyalah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” [HR Bukhori I/24].
Bagaimana
(mereka bisa mengatakan) bahwa As Sunnah bukan syariat, (padahal) di
atasnyalah tegak bangunan agama. Kalau tidak ada As Sunnah, bagaimana
umat ini bisa menerapkan kebanyakan hukum-hukum Al Quran. Cukuplah As
Sunnah menjadi kebanggaan tatkala Alloh Azza wa Jalla menjadikannya
sebagai jalan untuk bertemu denganNya, bagi mereka yang mengharapkan
ampunan serta surgaNya.
“ Sesungguhnya telah ada pada diri
Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” [QS Al Ahzab
21].
mengenai dalih bahwa Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam melarang menulis ucapan-ucapan beliau,” Janganlah kalian
menulis ucapan-ucapanku.” Hal ini sesuai untuk kondisi yang terjadi pada
awal masa Islam. Pada masa itu (wahyu) Al Quran masih terus turun,
disamping langkanya tulis menulis di tengah masyarakat arab- suatu hal
yang tidak tersembunyi bagi siapa yang mempelajari sejaran mereka dimasa
itu- maka demi kehati-hatian, Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
melarang shohabatnya menulis ucapan-ucapannya karena khawatir akan
tercampur dengan Al Qur’an. Tetapi kemudian beliau mengijinkan untuk
menulisnya, ketika telah aman dari ketercampuran (dengan al Qur’an)
sebagaimana dalam riwayat yang shahih bahwa beliau memerintahkan (para
sahabatnya) menuliskan (hadits)nya untuk Abu Syah. {lihat kisah
selengkapnya dalam syarah Nawawi XVIII/129).
Karena
Itulah, larangan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam untuk memcatat
Sunnahnya bukanlah alasan untuk mengeluarkan Sunnah sebagai syariat
[lihat Al Qur’aniyyun hal 223-230].
Syubhat Kelima.
Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam hanya memberikan pengarahan kepada Shohabat
rodliallohu anhum yang hadir bersamanya (bertemu dengannya) sesuai
dengan kondisi mereka saja, sehingga dihasilkan berbagai bentuk hadits
yang sesuai dengan situasi dengan situasi dan kondisi pada masa itu, di
mana situasi dan kondisi seperti itu sudah tidak ada pada masa-masa
sekarang,[maksudnya : AsSunnah tidak lagi relevan untuk masa sekarang
ini –red].
Bantahan
Al
Qur’an menyebutkan bahwa dakwah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
bersifat umum dan menyeluruh, tidak terhenti dengan berhentinya wahyu
mapun kematiannya. Dakwah beliau ditujukan untuk seluruh mukallaf dan
semua manusia, mencakup bangsa Arab dan non Arab. Sekalipun di dalamnya
terdapat pernyataan yang khusus ditujukan untuk kaum musyrikin Arab yang
membendung langkah dakwah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , yang
sehingga dikeluarkanlah hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka
bergantung kepada jalan yang mereka tempuh secara khusus. Namun
hukum-hukum tersebut –menurut ijma’- tidaklah terbatas pada
pribadi-pribadi mereka saja, melainkan juga berlaku bagi siapa saja yang
semisal dengan perilaku mereka yang menyimpang. Di samping bahwa Al
Quran telah membantah dan menentang syiar-syiar masyarakat Arab yang
berupa kesyirikan, peribadatan kepada berhala dan nadzar kepada selain
Alloh Azza wa Jalla . Tidak bisa dikatakan bahwa,”bantahan-bantahan
tersebut ditujukan kepada kaum musyrikin Arab saat itu, sehingga
(hukumnya) khusus untuk mereka dan tidak bisa diberlakukan untuk
pelaku-pelaku yang sama setelah mereka, karena (kaidah mengatakan) ‘yang menjadi patokan adalah keumuman lafalnya bukan kekhususan sebab’.
Dengan begitu, hukum suatu ayat yang bersangkutan dengan kaum
musyrikin-saat itu- juga berlaku untuk orang-orang yang sesudah mereka
tanpa terikat oleh waktu atau pernyataan tertentu.
Oleh
karena itu, kaum muslimin sepakat bahwa pernyataan serta hukum-hukum Al
Quran dan As Sunnah itu bersifat umum dan menyeluruh, tidak dikhususkan
untuk suatu umat saja, karena keumuman pernyataan Al Quran mengharuskan
pula keumuman pernyataan As Sunnah. Alloh Azza wa Jalla berfirman,
“
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.” [QS Saba 28].
Mengkhususkan
penerapan perintah dan arahan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
untuk satu kelompok orang atau waktu tertentu merupakan pengkhususan
yang tidak berpatokan kepada dalil lagi tidak bisa diterima oleh akal
sehat, karena risalah yang beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
bawa bersifat umum dan menyeluruh bagi semua manusia.
-Insya Allah bersambung-
sumber
Al Fatawa vol 10 Th 1/1424 H, dirangkum dari kitab ‘ Al Quraniyyun wa
Syubhatuhum Haula As Sunnah” karya Khadim Husain Ilahi Najsy cet 1 Th
1409 H/1989M, Maktabah Ash Shidiq, Thaif KSA
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar