===========================================================================================================================

Rabu, 30 Mei 2012

Mengenal Aliran Sesat Salamullah















SELALU penuh kejutan demi kejutan. Begitulah keberadaan dan aktivitas Salamullah pimpinan Lia Aminuddin. Jika diibaratkan film, Lia dan jamaahnya senantiasa menyajikan sekuel-sekuel tak terduga yang menyentak. Kisahnya pun lain seperti keluar dari pakem.

Simak saja.
Mula-mula, pada 1997, Lia mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril. Kemudian, pada 18 Agustus 1998, ia memaklumatkan diri dibaiat Jibril sebagai Imam Mahdi. Diumumkannya pula bahwa anaknya, Ahmad Mukti, dibaiat sebagai Nabi Isa. Umat beragama mana yang tak terkaget-kaget dibuatnya?

Pengakuan Lia yang kontroversial itu dituangkannya dalam buku Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir (selanjutnya disingkat PAMST). Kontan saja para ulama heboh. Hujatan pun bermunculan. Tapi, Lia dan jamaah setianya, waktu itu sekitar 100 orang, tenang-tenang saja.

Lia berseru bahwa ia datang bukan hanya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia yang bergelimang dosa, melainkan juga menyelamatkan dunia. “Maka, percayalah pada pesan-pesan yang kusampaikan,” begitu Lia menyerukan.

Belum genap tiga tahun berselang, April 2001, Lia dan Salamullah kembali bikin heboh besar. Mereka mengadakan ritual penyucian diri melalui api. Kepada pengikut setianya, ia mengeluarkan maklumat yang terdengar aneh: “Syekh menyampaikan perintah Allah untuk menggunduli rambut dan membakar sekujur tubuh kita. Syekh adalah sebutan untuk malaikat Jibril yang diyakini Lia. Ritual penyucian api itu berlangsung 22 April 2001, di Vila Bukit Zaitun, Megamendung, Puncak, Jawa Barat, tempat aktivitas jamaah kala itu dipusatkan.

Kejutan berikutnya, sebagian jamaah Salamullah tak lagi menjalankan syariat Islam, meski tetap mengedepankan zikir dan kebaikan universal. Sikap itu mereka percayai sebagai pelaksanaan petunjuk Jibril yang membawa pesan Allah. “Salah satu yang diperingatkan Allah kepada manusia saat ini adalah cara beragama. Umat beragama rajin beribadah ritual, tapi itu tak berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Salat jalan, korupsi terus,” begitu penjelasan Sumardiono, satu di antara jamaah setia Salamullah, kepada GATRA.

Seandainya argumen tadi disampaikan Lia Aminuddin, boleh jadi penjelasannya akan lebih panjang. Lia memang dikenal hangat dan amat bersemangat menerangkan seputar petunjuk-petunjuk Syekh. Semua itu selalu disampaikan Lia dengan rangkaian bahasa indah nan memikat.

Namun, kini belum waktunya bagi Lia untuk bercuap-cuap. Pasalnya, sang pemimpin belum lama usai menjalani khawlat-nya selama tiga tahun. “Sampai hari ini, Bunda belum diperbolehkan bertemu orang selain anggota jamaah,” kata Abdul Rachman kepada Astari Yanuarti dari GATRA, Oktober silam. Selama Lia menyepi itu, Rachman, 33 tahun, dipercaya menjadi Imam Besar Salamullah.

Kata Rachman, masa pengasingan bagi Bunda –sebutan bagi Lia oleh jamaahnya– adalah hukuman Allah atas dosanya di masa lalu. “Dulu Bunda seorang muslim yang suka menjegal kegiatan orang Kristen. Dulu Bunda sama dengan kita, menganggap jalan selamat hanya lewat Islam. Karena itulah, ia dipenjara tiga tahun oleh Allah,” Rachman menjelaskan.

Bagaimana Lia Aminuddin sampai “bertemu dengan Jibril”, dan akhirnya menghimpun Salamullah? Syahdan, semua itu dimulai dari sebuah benda bercahaya kuning yang, kata Lia, muncul, berputar, lalu lenyap persis di atas kepalanya. Itu terjadi di suatu malam, tahun 1974. Di malam sepi itu, Lia sedang duduk santai bersama Dokter Rosmini, adik iparnya, di rumahnya di Jalan Mahoni 30, Jakarta Pusat. Kala itu, Lia seorang ibu rumah tangga biasa, tak begitu memedulikan selain merasa takjub.

imageLia mulanya memang perempuan biasa. Tak ada keajaiban pada dirinya. Ibu empat anak ini lahir 21 Agustus 1947 di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia anak kedua dari enam bersaudara pasangan Abdul Ghaffar Gustaman dan Zainab. Sang ayah berlatar belakang Muhammadiyah, dikenal sebagai pedagang sekaligus penceramah. Tapi, Lia tak pandai mengaji. Perempuan tamatan SMU ini mengaku terus terang bahwa pengetahuan agamanya tak lengkap.

Pada usia 19 tahun, Juni 1966, Lia disunting Ir. Aminuddin Day, MSc, belakangan dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Pasangan ini dikaruniai empat anak. Sebagai ibu rumah tangga modern, Lia banyak beraktivitas di luar rumah sebagai perangkai bunga kering. Ia kerap tampil di televisi memperagakan kemahirannya itu, sehingga namanya dikenal masyarakat.

Perubahan luar biasa terjadi pada 27 Oktober 1995. Ketika salat tahajud, tiba-tiba sekujur tubuh Lia menggigil keras. Ia merasa ada yang menemani. Ia ketakutan, mengira makhluk yang menemaninya adalah jin atau iblis. Tapi, rasa ketakutannya segera lenyap. Soalnya, “Makhluk itu memberinya nasihat-nasihat yang baik,” ujar Lia, mengenang.

Belakangan, menurut Lia, sang pendamping itu mengaku bernama Habib Al-Huda, bermakna pemberi petunjuk yang dicintai Allah. Dan, dua tahun setelah “pertemuan” itu, 28 Juli 1997, barulah Habib mengaku bahwa dirinya adalah malaikat Jibril. Mulanya Jibril memperkenalkan diri sebagai Habib al-Huda, tulis Lia dalam PAMST, adalah, “Demi menimbang-nimbang seandainya dia langsung menyebut dirinya sebagai Jibril Alaihissalam tentulah aku tak akan percaya.”

Setelah pertemuan gaib dengan Habib al-Huda, Lia mendadak memperoleh banyak kemahiran menakjubkan. Mulai menulis sampai mengobati orang. Semua masalah diuraikannya dengan apik dalam bentuk tulisan, puisi, bahkan lagu. Dalam delapan bulan saja, tercatat 30 lagu diciptakan. Dari yang syahdu sampai kocak, dari keroncong hingga semidangdut. Adapun irama lagunya diciptakan Lia bersama dua jamaah, Yanthi S. Sulistiono dan Mira Julia.

Malah, percaya nggak percaya, buku PAMST setebal 232 halaman itu dituntaskannya dalam tempo cuma 29 hari! Buku itu dibagikan gratis, sepekan sebelum Lia mengumumkan dibaiat Jibril. Di situ dikisahkan tentang pengembaraan Lia bersama Jibril –plus kesaksian pengikutnya–lengkap dengan seluk-beluk radiasi nuklir, ozon, satelit, dan galaksi. Kata Lia, penulisan buku itu bisa cepat dan terarah atas tuntunan Jibril.

Dipaparkan pula dalam buku itu, sosok Lia punya multifungsi. Ia tak hanya sebagai Imam Mahdi, juga sebagai sosok Maryam yang melahirkan Nabi Isa. Jasad Lia dijadikan media tempat Jibril memberi ilmu dan berbagai petunjuk mengenai dunia-akhirat. Nah, menurut Lia, ketika Jibril berbicara melalui jasadnya, dia dalam keadaan sadar. “Jadi, bukan kesurupan,” tutur Lia, berusaha menepis keraguan umat.

Roh Jibril yang diyakini Lia merasuki tubuhnya itu, antara lain, mengabarkan bahwa bangsa Indonesia bakal mengalami penderitaan berat. Penjelasan Jibril tadi membuat Lia merinding. Apalagi, ia memang tahu, Indonesia sedang diterpa krisis ekonomi. Ia pun berdoa kepada Allah agar berkenan memberinya cara menolong umat. Lia bersyukur, karena doanya itu terkabul. Petunjuk-Nya, menurut Lia, disampaikan Jibril pada 1 Oktober 1997 pukul 15.00.

Obat itu tak lain adalah sumber mata air di Jalan Mahoni, tempat pertama kali Lia melihat cahaya dari langit, pada 1974 –belakangan menurut Lia, benda bercahaya itu tak lain adalah Jibril. Sumber mata air yang menyembuhkan berbagai penyakit itu tak dalam, cuma 5-6 meter. Penggaliannya, masih kata Lia, juga atas tuntunan Jibril.

Tempat bertuah itu kemudian diberi nama Salamullah. Nama ini pula yang menjadi nama resmi jamaah Lia. Akhirnya, pada 18 Agustus 1998, Lia memproklamasikan diri sebagai Imam Mahdi yang dibaiat Jibril. Lia mengaku, langkah itu diambil karena sudah ditegur Jibril lantaran belum juga mengumumkan “kabar penting bagi umat” tersebut.

Kelebihan Lia yang nyata adalah kemampuannya mengobati penyakit. Ilmu ini sering dipraktekkannya. Lia cukup memijat pasien sembari membaca doa-doa pendek seperti Alif-lam-mim atau Al-Fatihah. Pasien yang dipijat umumnya sembuh. Dramawan dan penyair W.S. Rendra adalah seorang pasien Lia yang tersembuhkan, setelah lima kali berobat.

“Si burung merak” itu, menurut Lia, mengidap banyak penyakit: ginjal, lever, dan bengkak-bengkak seluruh tubuh. Rendra juga sempat kehilangan rasa keindahan, dan bisa pulih lagi. “Semua ini adalah karunia Allah,” ujar Lia. Uniknya pula, semua jamaah Salamullah punya keampuhan mengobati setara dengan keampuhan Lia.

Kehebatan Lia mengobati –termasuk menularkan ilmu pada jamaah– juga kelihaiannya berdiskusi soal Islam dan penjelasan mengenai “takdirnya sebagai Imam Mahdi”, membuat banyak orang tertarik mengikuti aktivitasnya. Awalnya ada 100-an jamaah Salamullah, kini menciut menjadi 70-an orang.

Mereka datang dari berbagai kalangan. Ada budayawan seperti Danarto, ada pula insinyur lulusan ITB seperti Landung Wahana. Yang mahasiswa tak sedikit. Landung bergabung dengan Salamullah pada November 1997. “Saya tertarik karena bahasa yang dipakai Ibu Lia sangat indah,” begitu alasan Landung ketika itu.

Tutur kata “sang Imam Mahdi” memang amat memikat. Lembut namun kalimat per kalimatnya nyata berisi dan terangkai indah. Sikapnya pun hangat dan “alakadarnya” layaknya manusia biasa. Jauh dari kesan sok “jawa” dan “jaim” alias sok jaga wibawa dan jaga image.

Seorang pengikut setia Lia, Sumardiono, awalnya sempat kaget dan kecewa berat. Ia tak menyangka, Lia yang dikagumi jauh dari kesan sebagai pemimpin. Waktu itu, untuk pertama kalinya, Sumardiono bertemu Lia di pengajian. Pria kelahiran Mei 1969 ini melihat Lia usai pengajian tergopoh-gopoh ke ruang makan dan segera menyantap makanan ringan bersama jamaah lain. Lia pun tak canggung bercengkerama dan tertawa berderai bersama jamaah.

“Secara tidak sadar, aku kecewa karena figur itu sangat berbeda dengan apa yang ada dalam bayanganku sebelumnya,” tutur Sumardiono, seperti dituangkannya dalam buku Loving You karangannya sendiri, terbitan Februari 2003. Buku setebal 204 halaman itu, antara lain, berkisah mengapa ia memilih bergabung dengan Salamullah dan meninggalkan kariernya di Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Beberapa bulan setelah pertemuan dengan Lia, Sumardiono bisa memaklumi dan balik menghormati Lia. Soalnya, lulusan Teknik Informatika ITB ini menemukan pemahamannya tentang dekonstruksi terhadap pengultusan gambaran tentang kesalehan. “Tuhan menampilkan sosok pilihan-Nya yang berbeda dengan kriteria kesalehan yang dibuat para ulama,” ujarnya.

Dalam pemahaman Sumardiono, di saat para ulama bersikukuh mengajarkan keutamaan laki-laki, Tuhan memilih perempuan Lia Aminuddin –dengan segala kepolosannya– menjadi utusan. Sumardiono pun ikhlas menjadi jamaah setia Salamullah sejak 1997 sampai sekarang.

Berbeda dengan sikap jamaah Salamullah, reaksi masyarakat muslim –khususnya kalangan ulama– justru kontra-Lia. Sejak Lia mengaku mendapat wahyu dari Jibril pada 1997, serangkaian reaksi keras pun menerpanya. “Tak mungkin Lia bertemu Jibril, apalagi menerima pesan-pesannya,” kata Kiai Haji Ali Yafie, salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), kala itu.

Pada 22 Desember 1997, MUI kemudian menerbitkan fatwa yang mengecam pengakuan Lia bahwa itu bertentangan dengan Al-Quran. Dalam Kitab Suci disebutkan, setelah Nabi Muhammad, tak akan ada nabi lain. Bahwa tugas Jibril menyampaikan wahyu, itu hanya kepada para rasul, yang berakhir pada Nabi Muhammad. “Pengakuan (Lia) tersebut dipandang sesat dan menyesatkan,” demikian fatwa itu.

Surutkah Lia dan jamaahnya? Sama sekali tidak. Malah, seperti telah disebutkan, pada 18 Agustus 1998 Lia justru memproklamasikan diri sebagai Imam Mahdi yang dibaiat Jibril. Reaksi pun kian keras menghantam Lia. Tapi, Lia dan pengikutnya bergeming. Pada 9 Juli 1999, ia balik mengeluarkan fatwa bahwa fatwa MUI itu justru yang sesat, karena telah mengadili kebenaran. “Terkutuklah orang yang mengadili kebenaran dengan cara tidak adil dan sewenang-wenang,” begitulah “fatwa Jibril”.

Setelah itu, Lia aktif melakukan berbagai manuver. Ia mengobarkan perang terhadap Dajal di Tanah Air. Pada 22 Agustus 1999, misalnya, ia dan jamaahnya menyatakan perang terhadap ratu lelembut Nyi Roro Kidul, di Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Para dukun dan tukang santet juga diperangi karena dianggap musyrik.

Akibatnya, menurut Sumardiono, Lia kerap terkena serangan santet. Untuk mengatasinya, seluruh tubuh Lia terpaksa ditarik banyak jamaahnya secara serentak, sehingga badannya melayang di udara.

Lia juga memusnahkan aneka benda sakti yang dianggap syirik. Yaitu tongkat –termasuk “tongkat Bung Karno”– keris, jimat, batu cincin, sesajen, serta buku dan majalah “sesat”. Buntutnya, Lia sempat berurusan dengan pengadilan lantaran pemilik “tongkat Soekarno” tak bisa menerima perbuatannya. Lia tak gentar. “Jibril yang minta tongkat itu dimusnahkan,” kata Lia kepada GATRA, kala itu.

Pada 24 Juni 2000, Lia menyatakan Salamullah sebagai agama baru. Ajaran pokoknya tetap meyakini Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Tak ada nabi baru setelah Muhammad. Menurut ajaran itu, yang ada adalah kebangkitan kembali Nabi Isa, Imam Mahdi, dan roh orang-orang suci. Adapun kitab sucinya, yang masih terus disempurnakan, adalah Al-Hira. Tapi, sejauh itu, para jamaah Salamullah masih menjalankan salat sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad.

Tentu agama baru tadi sempat membuat masyarakat, utamanya muslim, terkejut. Tapi, kejutan lebih besar menggema manakala Lia menggelar ritual penyucian api, 22 April 2001, di Vila Bukit Zaitun, Puncak. Lia dan jamaahnya bertelanjang bulat menembus kobaran api, setelah seluruh bulu dan rambut di tubuh mereka digunduli. Mereka yakin, ritual itu merupakan “hisab” (perhitungan Allah) untuk membersihkan diri dari segala dosa.

Lia meyakinkan pada jamaahnya bahwa setelah itu mereka seakan terlahir kembali bak bayi tanpa dosa. Toh, ada dua jamaah yang tak diikutsertakan dalam ritual, sesuai dengan petunjuk Jibril. Soalnya, demikian menurut Jibril seperti disampaikan Lia, kedua orang itu masih berlumur dosa sehingga dikhawatirkan api akan menggosongkan tubuhnya.

Kali itu, Salamullah bukan cuma menuai hujatan, juga tindakan anarkis. Vila Bukit Zaitun, tempat ritual bakar-bakaran itu berlangsung, dirusak warga sekitar. Warga tak terima kehadiran Salamullah yang dinilai sesat oleh warga –meski Salamullah menegaskan sama sekali tak menyebarkan ajarannya pada penduduk selain jamaahnya. Beruntung, sebelum perusakan itu, sebagian besar jamaah Salamullah “turun ke kota”, kembali ke Jakarta. Tak ada korban jiwa dalam anarki tersebut.

Lagi-lagi Salamullah melaju terus, juga dengan kejutan-kejutannya. Apalagi, pihak MUI sepertinya “tak terlalu bereaksi lagi”. Soalnya, MUI memegang pakem: takkan pernah mengeluarkan fatwa dua kali untuk hal yang sama. Setelah menganut spiritual perenial, Salamullah melakukan Lawatan Tauhid selama 34 hari, 27 Juli-awal September lalu, ke tempat-tempat kemusyrikan di Jawa dan Bali. Perjalanan ini terkait dengan inti ajaran Salamullah, yaitu ketauhidan. Tidak musyrik dan menyekutukan-Nya.

Sebanyak 34 jamaah berkonvoi dengan mobil, mendatangi makam Wali Songo dan tempat pertapaan Parangkusumo di Yogya, Kesultanan Yogya dan Solo, makam Bung Karno, serta pertapaan Gunung Kawi, Jawa Timur. Pesantren pun tak luput dikunjungi. Mereka punya alasan khusus mendatangi tempat-tempat tersebut. Semua itu, kata Rachman, atas petunjuk Syekh.

Untuk makam Wali Songo, misalnya, Allah memerintahkan mereka mengingatkan manusia betapa menderitanya para wali atas pengultusan diri mereka. Alasan senada berlaku untuk makam keramat lain. Keraton juga dinilai sebagai tempat yang telah terkontaminasi kemusyrikan. Begitu pun pesantren tertentu yang dinilai suka bermain dengan jin.

Rombongan Salamullah ini tak sepenuhnya bisa menyampaikan pesan secara langsung. Tidak setiap sumber mau menemui mereka. Kalaupun mau, ujar Rachman, para sumber pasti punya alasan yang menyatakan mereka tidak musyrik. “Mereka bilang, kami tetap percaya satu Tuhan, dan kami tidak minta pada kuburan. Itu hanya salah satu cara untuk makin dekat dengan Tuhan,” Rachman menuturkan.

Sebelum Lawatan Tauhid ini, jamaah Salamullah mengunjungi 100 kedutaan besar dan 130 gereja di Jakarta. Itu dilakukan sejak empat bulan menjelang invasi Amerika dan sekutunya ke Irak, Maret silam. Pesan yang disampaikan: perdamaian! Ke depan, menurut Rachman, agenda Salamullah yang sudah diberitahu Syekh adalah mengajak para dukun kembali ke jalan lurus. Kapan “safari” semacam ini berakhir? Rachman belum bisa memastikan. Sebab, katanya, semua tergantung petunjuk Syekh.

Tentang tudingan bahwa Salamullah sesat, Rachman bilang, “Bila ini kebenaran dari Allah, niscaya akan abadi. Bila sebaliknya, niscaya akan hilang ditelan zaman.” Artinya, kata Rachman pula, waktulah yang akan membuktikan.
Taufik Alwie (GTR)

Kejutan Anyar Salamullah
SEBAGAI pimpinan Salamullah yang awalnya bernapaskan Islam, Lia Aminuddin selalu mengenakan kerudung putih. Itu sudah ciri khasnya. Dalam setiap kesempatan, ibu empat anak itu tak pernah alpa berkerudung warna kapas, dan menutup auratnya dengan busana muslim warna senada.

Itu dulu. Namun, sejak beberapa waktu lalu, kerudung tadi tinggal kenangan. Penutup kepala itu sudah tersimpan di lemari. Lia, 56 tahun, telah menanggalkannya. Sebuah kejutan lagi? Yang pasti, Lia kini meretas jalan baru, yaitu spiritual perenial. Artinya, Lia tak lagi menganut Islam secara formal. “Bunda diperintahkan menjalani spiritual perenial,” kata Abdul Rachman kepada Astari Yanuarti dari GATRA. Bunda, sebutan bagi Lia, yang menunjuk Rachman sebagai Imam Besar Salamullah selama Lia menyepi.

Itulah sedikit kabar anyar dari Salamullah. Selain Lia, ada 16 jamaah Salamullah yang, menurut Rachman, diperintahkan Jibril menganut spiritual perenial yang mengedepankan kebaikan universal. Di antaranya Dunuk (istri budayawan Danarto), Yusuf Amin, dan Sumardiono.

Malah, kata Rachman pula, ada beberapa jamaah Salamullah yang diutus masuk ke umat beragama lain. Ada yang ke Hindu, Buddha, Katolik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, mereka harus mengambil jalan spiritual perenial agar bisa netral. Rachman sendiri tetap muslim, karena katanya, ia memang ditunjuk untuk bergabung dengan kaum muslim.

Saat ini, tercatat ada 70 jamaah Salamullah. Salamullah tak tergiur untuk mencari anggota sebanyak-banyaknya. “Selama tujuh tahun ini, yang bisa bertahan memang sekitar 70 orang itu saja. Mereka telah menyelesaikan proses untuk menjadi orang-orang Salamullah,” Rachman menjelaskan.

Proses itu sungguh tak ringan. Dimulai dengan pengakuan dosa di hadapan Allah, dilanjutkan penyucian dosa dengan menggunduli bulu tubuh dan membakar diri. Yang terberat adalah melewati tahapan berhadapan dengan keluarga dan masyarakat. Ada jamaah yang sampai cerai, atau tak diakui anak lagi oleh orangtuanya. Yusuf Amin salah satunya. Lelaki 27 tahun ini mendapat tentangan keras dari keluarganya.

Yusuf tak surut. Bekas mahasiswa IAIN ini tetap melebur di Salamullah dan menjalani spiritual perenial. Dan Yusuf happy, kendati berpisah dengan orangtuanya. “Sekarang caranya mendekati Tuhan tidak lagi dengan salat, tapi dengan menyanyikan kidung Salamullah dan merangkai bunga,” ujarnya.

Memang, seperti dikatakan Rachman, tata cara ibadah spiritual mereka masih dalam proses petunjuk Jibril. Untuk sementara, kata Rachman, bersenandung dan merangkai bunga adalah bentuk ibadah mereka.

Setelah menjadi Salamullah, setiap orang harus berserah diri pada Allah. Kehendak Allah bisa diketahui melalui Syekh. Termasuk, apakah seorang Salamullah harus tetap bekerja atau mengabdi 100% di Salamullah. Setiap orang, menurut Rachman, akan mendapat pemberitahuan spesifik selama ia berserah diri.

Sebagian jamaah diperintahkan Jibril agar tetap bekerja. Ada pula yang disuruh berhenti bekerja. Dan, di tengah keheranan masyarakat, para jamaah itu ikhlas melakoni suratannya.
[sumber: Taufik Alwie/swaramuslim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar