Membongkar Kesesatan Syiah
Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.
Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk
menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit
dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri
-terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak
dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.
Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan
bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih
berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula
anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal,
2/113, karya Ibnu Hazm)
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring
dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu
Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah.
Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan
Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)
Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini
adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini
berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan
segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai
macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829).
Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829).
Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak
imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, berlepas
diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir
Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata:
“Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
“Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain
bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada
Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:
“Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:
“Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:
“Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka
dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka
“Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa
(13/36).
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena
tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan
Syi’ah Zaidiyyah.
Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih
ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.
Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2
Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
“Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.
a. Tentang Al Qur’an
Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata:
“…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka
tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf
Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa
yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu
huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.”
(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir)
(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir)
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin
Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak
riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam
kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang
menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan
penyimpangan.
b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia
(para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga
orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman
Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal.
45, karya Ihsan Ilahi Dzahir)
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini
Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab
Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)
Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka cela dan laknat. Bahkan
berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka.
Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul
Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:
Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan
keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan
dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan
kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)
(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)
(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh
Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang
bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan
hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari
kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka
ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min
dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar
Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara
dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu
tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang
ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin
Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr.
Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu,
Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang
berambisi untuk menghabisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun
tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian
dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah
seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para
shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala
Syatimirrasul, hal. 580)
c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib
radhiallahu ‘anhu dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang
telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah
mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan
dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas
dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para
perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17)
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari
segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini)
berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang
ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia
Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya
beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha
Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang
ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah,
1/192)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah,
benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan
mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan
sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi
(2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai
Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah
taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.”
(Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196)
Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata:
“Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”
“Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”
Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:
“Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)
“Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)
e. Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)
f. Tentang Al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang
darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun
sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya
dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa
sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di
masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lebih utama dari
masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib)
dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari
Firaq Mu’ashirah, hal. 192)
Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata:
“Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
“Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata:
“Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
“Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)
“Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)
5. Al-Imam Al-Bukhari berkata:
“Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)
“Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)
6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata:
“Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)
“Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)
Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan
bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari
kebenaran…Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar