USWAH
ZAID BIN TSABIT AL ANSHARI
Bersama kawan kawan sejawatnya ia menghadap Rasulullah yang
tengah mempersiapkan pasukan perang
Badar. Mereka membawa senjata masing-masing; adyang membawa panah , ada yang
membawa tombak, dan ada yang membawa pedang. Mereka semua hendak memohon kepada
Nabi supaya diikutkan dalam memerangi musuh-musuh Allah, berjihad fiesabilillah
Sebagian dari mereka diizinkan Nabi namun sebagian yang lain
tidak beliau perkenankan. Termasukyang mesti pulang dengan berat hati adalah
adalah anak yang belum genap usia 13 tahun itu. Dia membawa sebilah pedang yang
melebihi tinngi badannya. Dialah si anak
yatim Zaid bin Tsabit Al Anshari.
Menjelang pemberangkatan pasukan ke medan
Uhud, beersama teman-temannya di medan
Uhud, bersam teman-temannya yang belum diizinkan Nabi saat perang Badar, Zaid
menghadap beliau lagi. Masih dengan misi yang sama; memohon izin supaya
diperkenankan ikut memerangi musuh-musuh Allah. Nabi melihat mereka masih
terlalu muda dan tulang tubuh mereka masih terlalu lemah. Sekali lagi beliau
tidak mengizinkan mereka.
Sejak mendapatkan hidayah dari Allah untuk memeluk Islam,
Zaid selalu berada di dekat Nabi. Ia dengan kepandaiannya membaca dan menulis
diangkat oleh Nabi sebai sekretaris beliau. Jika ada wahyu yang turun, Nabi
membacakan dan mendiktekannya kepada Zaid supaya ditulisnya. Tulisannya indah
dan gampang dibaca.
Nabi yang senantiasa memberi perhatian penuh kepada
orang-orang yang berada di sekitarnya melihat ada potensi besar yang dimiliki
oleh Zaid. “Jika kamu mau, cobalah untuk memehami bahasa Ibrani. Selama ini Aku
tidak percaya kepada orang-orang Yahudi yang aku mintai tolong untuk
menerjemahkan dan menulis surat-suratberbahasa Ibrani yang hendak aku kirim ke
luar Madinah,”sabda beliau saat itu.
Zaid mengerti, Kesempatan tidak dating dua kali. Pun ia
mengerti bahwa tidak semua orang dianugrahi Allah kecerdasan diatas rata-rata.
Maka dengan bersemangat Zaid mempelajari bahasa Ibrani. Dan hanya dalam
setengah bulan ia telah menguasainya. Sejak saat itu, dialah yang mendapatkan
tugas untuk membaca, menerjemahkan, dan menulis surat-surat berbahasa Ibrani.
Rasulpun kagum atas kemampuan Zaid ini. Maka beliau
menyarankan Zaid untuk mempelajari bahasa Suryani. Seperti sebelumnya, dalam
waktu singkat iapun menguasainya dengan baik. Tepatnya, ia menguasainya dalam
tempo 17 hari.
PenguasaanZaid terhadap dua bahasa: Ibrani dan Suryani
selain bahasa Arab, jelas memperlancar hubungan yang dijalin oleh Rasulullah
dengan para penguasa di berbagai belahan tanah Arab dan sekitarnya saat itu.
Dan Zaid tidak hanya pintar menulis. Diapun faqih terhadap
apa yang ditulisnya. Kefaqihan Zaid terhadap apa yang ditulisnya itu terbukti
pada hari Saqifah saat Muhajirin dan Anshar bersengketa tentang siapa yang
menggantikan kedudukan Nabi dalam memimpin umat. Masing-masing merasa lebih
berhak untuk menggantikan beliau. Disaat itulah Zaid tampil memberikan jalan
keluar. Katanya,”Wahai sekalian Shahabat Anshar, kita tahu bahwa Rasulullah
adalah salah satu Muhajirin dan kita adalah Anshar yang telah berjanji untuk membantu
kaum Muhajirin. Selayaknya pengganti beliau adalah dari kalangan Muhajirn pula dan kita
tetap menjadi Anshar.”
Setelah mengucapkan itu Zaid bin Tsabit mengangkat tangan
Abu Bakar As-shidiq dan membaiatnya menjadi Khalifah pengganti Nabi. Para sahabat Anshar yang telah dibuka pintu hatinya oleh
Allah pun mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Zaid. Zaid telah
menyelamatkan dengan taufiq dari Allah ummat dari perpecahan yang nyaris
terjadi.
Pasca perang yamamah, puluhan shahabat penghafal Al Qur’an
menemui ajal sebagai syuhada’. Hal ini dipandang oleh shahabat Umar sebagai
awal petaka jika tidak disiakapi dengan tepat. Bisa-bisa Al Qur’an pergi
bersamaan dangan kepergian mereka ke alam baka. Maka Umar menguslkan kepada Abu
Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan Al Qur’an. Abu Bakar enggan melakukan
sesuatu yang tidak dilakukan Nabi. Namun setelah mendapatkan penjelasan dari
Umar, Abu Bakar pun menerima usulan Umar. Mereka berdua sepakat untuk menunjuk
Zaid bin Tsabit untuk yang selama ini
telah menjadi sekretaris Nabi dan penulis wahyu untuk melaksanakn amanah besar
ini.
Seperti halnya Abu Bakar awalnya Zaid pun menolak untuk
melaksanakan rencana pembukuan Al Qur’an tersebut. Katanya, “Bagaimana mungkin
aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan rasulullah?”
Setelah mendapatkan penjelasan dari Abu Bakar dan Umar, hati
Zaid pun terbuka, meski ia berkata, “ Demi Allah, seandainya mereka memintaku
untuk memindahkan gunung dari tempatnya, akan lebih mudah kurasa daripada
perintah untuk menghimpun Al Qur’an.”
Zaid Khawatir jika ada kesalahan sekecil apapun dalam
menuliskan ayat atau surat seperti yang pernah dituntunkan oleh
Rasulullah. Zaid bewruntung, usulan shahabat Umar ini keluar di saat masih
banyak shahabat yang bisa dijadikan referensi dalam penulisan dan penyusunan Al
Qur’an ini. Dengan giat Zaid mengumpulkan tulisan-tulisan yang dulu pernah
ditulisnya, juga yang ditulis oleh shahabat yang lain, selainmeminta para
shahabat penghafal Al qur’an yang masih ada untuk mengoreksinya jika terjadi
kekeliruan. Akhirnya dengan izin Allah, Zaid berhasil melaksanakan tugas mulia
dan penting itu. Ar-Dk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar