===========================================================================================================================

Kamis, 07 Juni 2012


Tajribah
Saat Aku Kembali

Kembali hari-hariku diliputi gundah, sujud malamku penuh dengan doa. Ada saatnya rasa jenuh menghampiri karena lelah hati yang menaggung kecamuk. Serasa hidup di persimpangan. Ustadz yang mengetahui persoalanku pun berulang kali menasehatiku agar aku melupakannya. Ustadz berjanji akan mencerikan yang lain untukku. Namun sekali lagi akutak mampu merubah pikiranku.

Untuk lebih meyakinkan diriku sendiri, kuinginkan jawaban langsung darinya, bukan dari ustadz atau yang lainnya. Menolak atau menerima, biar lebih terang semuanya. Kepada ustadz aku titipkan suratku kepadanya, dan aku minta izin agar ia diperkenankan membalas suratku. Alhamdulillah diizinkan.

Dua hari kemudian…

Surat balasan kudapatkan, dengan membaca basmallah dan menegarkan diri untuk segera menerima kemungkinan, kubuka lembaran folio tersebut. Dalam surat itu, tak kudapatkan kalimat penolakan atau penerimaan secara tegas, hanya saja dia tak menarik persyaratannya dengan berbagai alas an. Alasan yang kupikir amat tepat dan dia berhak untuk itu. Aku harus tetap belajar lagi, masuk pesantren dan menyelesaikannya. Baru aku boleh meminangnya.

Alhamdulillah, datang saatnya Allah memudahkan urusanku untuk memenuhi permintaanya. Orang tua yang pada awalnya tak mengizinkan pun, tiba-tiba memberikan restu. Sampai akhirnya aku diterima di lembaga pendidikan yang dia pilihkan.

Tak terasa hampir setengah tahun kujalani hidup dalam kegiatan menuntut ilmu. Di pondok pesantren , ketidak pedean yang dulu sempat muncul kini tiada tersisa sedikitpun. Kukira dulu aku menjadi siswa tertua, ternyata banyak yang lebih tua dariku.Pahit getir keterbatasan dan kekurangan menjadi semakin biasa, kutelan satu persatu dan biarlah kelak dan biarlak kelak menjelma menjadi pengalaman yang berharga. Namun Namun satu hal yang belum juga luruh sedikitpun, yakni asa untuk memiliki dia, si pemilik nama itu. Kadang hati merintih sedih, sedemikian bodohnya diriku. Pun juga aku khawatir jangan jangan aku telah terjerumus dalam kesedihan lantaran apa yang aku damba dalam hati untuk bisa menikahinya? Sempat aku tersadar ini adalah suatu kesalahan. Namun itu segera tenggelam ketika seolah akunmendapatkan alasan; apakah salah jika aku memperjuangkannya? Menurutku dia memang pantas untuk diperjuangkan. Slahkah keinginan untuk memiliki istri yang shalihah?

Besok adalah hari idhul Adha…

Kegiatan pondok diliburkan selama sepekan, namun aku sudah berniat untuk tidak pulang. Di samping untuk menghemat biaya dan menjaga hafalan, aku takut kepulanganku menambah pekat warna merah jambu di hatiku. Namun, ustadz menghubungiku dan mengharuskan aku pulang. Katany ada hal penting yang harus diselesaikan.

Aku pun pulan dan segera menemui ustadz untuk meminta kejelasan. Aku menangkap gelagat yang kurang beres. Kata ustadz, kata ustadz, pemilik si nama itu ingin bertemu denganku. Meski aku mengiyakan permintaan itu, tetap saja ada kesamaran dalam hatiku. Ada apakah sehingga dia ingin bertemu? Apakah dia mau membatalkan semuanya? Apakah dia menyesal karena aku berusaha memenuhi permintaanya? Atau …apakah mungkin dia membatalkan syarat dan memintaku untuk langsung menikahinya? Entahlah, semakin membuat pikiranku kalut tak karuan.

Malam yang ditentukan…  

Itulah pertama kali aku menemuinya secara langsung meski di balik kain pembatas. Kalau dipikir-pikir aku terlalu nekatdengan persepsi dan harapanku sejak dulu.

Ketika tiba kesempatan dia berbicara, aku kaget ketika suaranya bercampur sedu. Dengan tergagap kupersilahkan ketika dia meminta izin padaku untuk berkata jujur menceritakan semuanya. Pening tiba-tiba mendera kepalaku, gundah terasa ketika dia mulai bercerita;tentang cita-citany menjadi seorang penulis, harapannya untuk berdampingan dengan seorang ikhwan yang alim, penulis, humoris, …dll. Yang itu tak mungkin jika ia menerimaku. Dia juga mengaku, dengan syarat yang berat, awalnya dia tak yakin aku akan mampu. Ya Allah betapa hambamu ini memeng bodoh, terlalu polos dan lugu dalam memehami tulisan seorang wanita. Lalu aku harus bagaimana?!

“Akhi, ana sudah berkata jujur, semoga antum tidak tersinggung atau marah karena merasa ana bohongi, “ tuturnya. “ Namun begitu… penerimaan antumakan syarat yang ana ajukan, menyadarkan ana untuk tidak main-main dalam hal beginian. Mungkin ini teguran dari Allah Ta’ala. Maka, untuk kekecewaan antum, tolong beri ana kesempatan satu minggu lagi untuk beristikharah. Apakah semua ini harus berlanjut, ataukah harus disudahi, afwan”. Itulah kata-kata terakhir  yang semakin membuatku panas dingin.

Dia bercita cita bersuamikan seorang penulis. Sedang aku., hobi nulis saja tidak! Humoris? Teman-teman bilang aku pendiam! Apakah ini alamat bahwa aku memang tidak ditakdirkan untuk memilikinya sebagai teman menmpuhi kehidupan dan perjuangan. Wallahu A’lam.

Malam terkhirku dikampung halaman…

Ini merupakan malam penentu harapanku. Sudah kusiapkan mental dan kukuatkan batin untuk menerima segala kemungkinan. Kalaupun aku akhirya ditolak, mungkin itulah yang terbaik dan aku tidak pernah merasa dibohongi karena aku sendirilah yang terlalu lugu. Aku tidak akan pernah merasa kecewa karena ditolak setelah berusaha memenuhi permintaanya. Bahkan aku sangat berterima kasih karena lantaran dialah aku bisa mendalami ulumuddien. Aku akan terus melanjutkan studiku, meskipun jika dia tidak menjadi pendampingku.

Lega rasa hatiku. Detik menegangkan pun terlewati tatkala dia menyatakan bisa menerimaku. Meski dengan ucapan maaf akana masih ada ganjalan dalam hati, bahwa dia menerimaku karena tak ingin ingkar akan apa yang telah ia janjikan. Dia tidak ingin menyandang gelar orang munafik. “Ana tak kan menuntut banyak dari antum, tapi ana sangat berharap kesugguhan antum dalam mempelajari ulumuddin sehingga pada saatnya nanti antum dapat membimbing ana dan keluarga,” katanya menyiratkan kedewasaan. “Afwan kalau saat ini ana baru bisa menerima karena ikatan janji, namun seiring berjalannya waktu, ana yaki keikhlasan itu akan hadir disini,”sambungnya dengan nada lebih lirih.

Hamdalah kuucapkan dari kesadaran yang paling dalam. Wajahkupun tersungkur untuk sujud syukur. Sungguh kuhargai kejujurannya, aku bangga akan keterus terangannya. Kini, tinggal menunggu waktu.

Ya Allah semoga kau berikan kemudaha bagi kami.

Habib (di bumi Allah)
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar