Tajribah
Saat Aku Kembali
Kembali hari-hariku diliputi
gundah, sujud malamku penuh dengan doa. Ada
saatnya rasa jenuh menghampiri karena lelah hati yang menaggung kecamuk. Serasa
hidup di persimpangan. Ustadz yang mengetahui persoalanku pun berulang kali menasehatiku
agar aku melupakannya. Ustadz berjanji akan mencerikan yang lain untukku. Namun
sekali lagi akutak mampu merubah pikiranku.
Untuk lebih meyakinkan diriku
sendiri, kuinginkan jawaban langsung darinya, bukan dari ustadz atau yang
lainnya. Menolak atau menerima, biar lebih terang semuanya. Kepada ustadz aku
titipkan suratku kepadanya, dan aku minta izin agar ia diperkenankan membalas
suratku. Alhamdulillah diizinkan.
Dua hari kemudian…
Surat balasan kudapatkan, dengan membaca
basmallah dan menegarkan diri untuk segera menerima kemungkinan, kubuka
lembaran folio tersebut. Dalam surat
itu, tak kudapatkan kalimat penolakan atau penerimaan secara tegas, hanya saja
dia tak menarik persyaratannya dengan berbagai alas an. Alasan yang kupikir
amat tepat dan dia berhak untuk itu. Aku harus tetap belajar lagi, masuk
pesantren dan menyelesaikannya. Baru aku boleh meminangnya.
Alhamdulillah, datang saatnya Allah
memudahkan urusanku untuk memenuhi permintaanya. Orang tua yang pada awalnya
tak mengizinkan pun, tiba-tiba memberikan restu. Sampai akhirnya aku diterima
di lembaga pendidikan yang dia pilihkan.
Tak terasa hampir setengah tahun
kujalani hidup dalam kegiatan menuntut ilmu. Di pondok pesantren , ketidak
pedean yang dulu sempat muncul kini tiada tersisa sedikitpun. Kukira dulu aku
menjadi siswa tertua, ternyata banyak yang lebih tua dariku.Pahit getir
keterbatasan dan kekurangan menjadi semakin biasa, kutelan satu persatu dan
biarlah kelak dan biarlak kelak menjelma menjadi pengalaman yang berharga. Namun
Namun satu hal yang belum juga luruh sedikitpun, yakni asa untuk memiliki dia,
si pemilik nama itu. Kadang hati merintih sedih, sedemikian bodohnya diriku.
Pun juga aku khawatir jangan jangan aku telah terjerumus dalam kesedihan
lantaran apa yang aku damba dalam hati untuk bisa menikahinya? Sempat aku
tersadar ini adalah suatu kesalahan. Namun itu segera tenggelam ketika seolah
akunmendapatkan alasan; apakah salah jika aku memperjuangkannya? Menurutku dia
memang pantas untuk diperjuangkan. Slahkah keinginan untuk memiliki istri yang
shalihah?
Besok adalah hari idhul Adha…
Kegiatan pondok diliburkan selama
sepekan, namun aku sudah berniat untuk tidak pulang. Di samping untuk menghemat
biaya dan menjaga hafalan, aku takut kepulanganku menambah pekat warna merah
jambu di hatiku. Namun, ustadz menghubungiku dan mengharuskan aku pulang.
Katany ada hal penting yang harus diselesaikan.
Aku pun pulan dan segera menemui
ustadz untuk meminta kejelasan. Aku menangkap gelagat yang kurang beres. Kata
ustadz, kata ustadz, pemilik si nama itu ingin bertemu denganku. Meski aku
mengiyakan permintaan itu, tetap saja ada kesamaran dalam hatiku. Ada apakah sehingga dia
ingin bertemu? Apakah dia mau membatalkan semuanya? Apakah dia menyesal karena
aku berusaha memenuhi permintaanya? Atau …apakah mungkin dia membatalkan syarat
dan memintaku untuk langsung menikahinya? Entahlah, semakin membuat pikiranku
kalut tak karuan.
Malam yang ditentukan…
Itulah pertama kali aku menemuinya
secara langsung meski di balik kain pembatas. Kalau dipikir-pikir aku terlalu
nekatdengan persepsi dan harapanku sejak dulu.
Ketika tiba kesempatan dia
berbicara, aku kaget ketika suaranya bercampur sedu. Dengan tergagap
kupersilahkan ketika dia meminta izin padaku untuk berkata jujur menceritakan semuanya.
Pening tiba-tiba mendera kepalaku, gundah terasa ketika dia mulai
bercerita;tentang cita-citany menjadi seorang penulis, harapannya untuk
berdampingan dengan seorang ikhwan yang alim, penulis, humoris, …dll. Yang itu
tak mungkin jika ia menerimaku. Dia juga mengaku, dengan syarat yang berat,
awalnya dia tak yakin aku akan mampu. Ya Allah betapa hambamu ini memeng bodoh,
terlalu polos dan lugu dalam memehami tulisan seorang wanita. Lalu aku harus
bagaimana?!
“Akhi, ana sudah berkata jujur,
semoga antum tidak tersinggung atau marah karena merasa ana bohongi, “
tuturnya. “ Namun begitu… penerimaan antumakan syarat yang ana ajukan,
menyadarkan ana untuk tidak main-main dalam hal beginian. Mungkin ini teguran
dari Allah Ta’ala. Maka, untuk kekecewaan antum, tolong beri ana kesempatan
satu minggu lagi untuk beristikharah. Apakah semua ini harus berlanjut, ataukah
harus disudahi, afwan”. Itulah kata-kata terakhir yang semakin membuatku panas dingin.
Dia bercita cita bersuamikan
seorang penulis. Sedang aku., hobi nulis saja tidak! Humoris? Teman-teman
bilang aku pendiam! Apakah ini alamat bahwa aku memang tidak ditakdirkan untuk
memilikinya sebagai teman menmpuhi kehidupan dan perjuangan. Wallahu A’lam.
Malam terkhirku dikampung halaman…
Ini merupakan malam penentu
harapanku. Sudah kusiapkan mental dan kukuatkan batin untuk menerima segala
kemungkinan. Kalaupun aku akhirya ditolak, mungkin itulah yang terbaik dan aku
tidak pernah merasa dibohongi karena aku sendirilah yang terlalu lugu. Aku
tidak akan pernah merasa kecewa karena ditolak setelah berusaha memenuhi
permintaanya. Bahkan aku sangat berterima kasih karena lantaran dialah aku bisa
mendalami ulumuddien. Aku akan terus melanjutkan studiku, meskipun jika dia
tidak menjadi pendampingku.
Lega rasa hatiku. Detik menegangkan
pun terlewati tatkala dia menyatakan bisa menerimaku. Meski dengan ucapan maaf
akana masih ada ganjalan dalam hati, bahwa dia menerimaku karena tak ingin
ingkar akan apa yang telah ia janjikan. Dia tidak ingin menyandang gelar orang
munafik. “Ana tak kan
menuntut banyak dari antum, tapi ana sangat berharap kesugguhan antum dalam
mempelajari ulumuddin sehingga pada saatnya nanti antum dapat membimbing ana
dan keluarga,” katanya menyiratkan kedewasaan. “Afwan kalau saat ini ana baru bisa
menerima karena ikatan janji, namun seiring berjalannya waktu, ana yaki
keikhlasan itu akan hadir disini,”sambungnya dengan nada lebih lirih.
Hamdalah kuucapkan dari kesadaran
yang paling dalam. Wajahkupun tersungkur untuk sujud syukur. Sungguh kuhargai
kejujurannya, aku bangga akan keterus terangannya. Kini, tinggal menunggu
waktu.
Ya Allah semoga kau berikan
kemudaha bagi kami.
Habib (di bumi Allah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar