===========================================================================================================================

Kamis, 07 Juni 2012


Tajribah

Serapuh Hati Tanpa Keyakinan
 
“Assalamu’alaikum”. Kujabat tangan akhwat karibku satu persatu. Tidak ada yang mau ketinggalankuliah jam pertama pagi ini, takut sama dosennya yang killer. “rani kemana kok belum hadir?”, tanyaku. Tapi tidak ada yang tahu, Biasanya jika ada yang tak hadir di kuliah selalu memberi informasi pada yang lain.

Jam tujuh tepat, dosen masuk dan langsung menberikan kuliah. Suasana kelas langsung berubah. Semua matapun tertuju pada layer proyektor, meski ada yang sambil berjuang menahan kantuk. Sementara konsentrasiku agak sedikit terganggu dengan perasaan yang terus bertanya-tanya. Kemana Rani?

Kami adalah sembilan bersahabat. Diatas jalanNya kami bersaudara dan bertekad menyempurnakan ketaatan . Alhamdulillah, Allah Ta’ala menunjuki kami pada aqidah dan manhaj salafush shalih. Kami berusaha untuk melazimkan sunnah dalam keseharian. Banyak yang mengatakan kami ekslusif dan ekstrim. Mereka memandang sinis pada kami karena pakaian dan cara pergaulan kami. Ada saja sindiran yang melecehkan. “Awas, manusia kelelawar lewat!”, atau pedangnya mana?(kura kura ninja)”, atau “ bau surga nih!”, deesbe. Ya… inilah mungkin resikonyajika ingin berkomitmen dengan syariat. Lagian boleh jadi karena mereka belum paham. Kami berusaha sabar dan sebisa mungkin untuk menjelaskannyaterutama kepada mahasiswi muslim tapi lebh memeilih gaul dalam berperilaku dan berpakaian.

Dua jam kuliah berlalu,tak banyak waktu terbuang dari awal sampai akhir. Soal paham atau tidak itu masalah lain. Ya… begitulah mungkin standar dan gaya pendidikan kita. Yang penting target silabus terpenuhi. Selesai!Kelas tanpa hati…! Mahasiswa berhamburan keluar, padahal dosen belum beranjak mengemasi bahan kuliah yang barusan disampaikan. Seperti biasanya, kami memeilih keluar terakhir agar tak perlu berdesakan. Setelah semua keluar, di barisan paling depan ada sesosok wanita berjubah serba gelap lengkap dengan cadar. Mungkin ia tadi masuk kelas agak mepet dengan waktu milai jam kuliah. Saya menduga dia senior yang akan mengulan mata kuliah. Terdorong ingin menyapa saya menghampirinya.

“Assalamu’alakum, Ukhti”sapaku sambil menjabat tangannya.
“Wa’alaikumusaalam warahmatullah”, jawabnya.

Saya mencoba memperhatikan matanya, siapa tahu saya bisa mengenal wajah dibalik cadar itu.”Kenapa , Ukhti? Kaget ya? Saya Rani Lho”, katanya , spontan saya kagetbukan main.
“betul kamu Rani?” tanyaku hampir tak percaya.
Dengan lembut ia menganggukkan kapala. Saat itu saya langsung memeluknya sambiltak hentinya mengucapkan syukur dan memuji Allah Ta’ala. Tak terasa air mata membasahi jilbabnya. Sahabatku yang lain ikut menangis dan memeluknya.
Rani berbisik lirih, Doakan ya Ukhti, agar saya istiqomah selalu!”
“Amin…Insya Allah”, Jawabku.

Rani yang cukup pandai berargumen jika berdiskusi dengan Islam, walaupun jawaban-jawabannya sering dilandasi pendapat akalnya. Rani yang saya lihat sebagai mutarabbi salah satu liqa’ di sebuah jamaahnya terdahulu, Rani yang diantara kami bersembilan, dialah yang masih cenderung bebas dalam bergauldan berpakaian, Rani yang terbiasa dan longgar dalam bergaul dengan lawan jenis, saat ini dia telah berubah. Ia telah berubah menjadi seorang akhwat yang rajin mengikuti ta’lim dan kegiatan da’wah lainnya.

Waktupun berlalu beberapa minggu, Rani semakin dekat denganku. Ia sering mabit di kost ku dan sering curhat tentang keadaanya. Kami saling menasehati satu sama lainuntuk tetap istiqamah. Kami selalu hadir bersama dalam kajian, seminar, bedah buku, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Setiap ada informasi kegiatan, kami ingin selalu menjadi yang hadir pertama dalam kegiatan tersebut. Kami seperti orang yang kehausan ilmu, dan yang demikian ini semakin mempererat hubungan kami.

Selan beberapa minggu kemudian, Rani tambah sering menginap di kost saya. Rani dating dengan membawa cerita-cerita dan keadaanya sejak ia . Ternyata keluarga dan kerabatnya menolak keras pilihannya. Menurut mereka, pakaian seperti itu dengan apa yang mereka sebut dengan “teroris”. Sejak keluarganya tahu, semua biaya hidup dan keluarganya dihentikan.” Sabar ya Ukhti, kemudahan pasti kan dating. Ujian tak selamanya. Hanya sekejap kemudian kan lewat, jika saja kita tetap bertahan. Jangan pernah menyerah!”, saya mencoba menasehatinya. Untuk beberapa hari kemudian Rani masih bertahan.

Pada malam berikutnya Rani datang lagi ke kost ku dan menyatakan ingin tinggal di kostku untuk beberapa hari. Ia mengatakan sudah tidak punya uang lagi. Jangankan untik kuliah, sedangkan untuk makan saja tiada tersisa. Saya tidak menyangka ada orang tua setega itu.

“Untuk apa saya berpakaian begini, kalau saya harus mati kelaparan. Lagian gara-gara pakaian ini, saya tidak bisa pergi ke tempat-tempat yang saya senagi, pergaulanku jadi terbatas, kuliahku terhambat, dan segala kesulitan yang harus saya tanggung!”jawabnya setelah mendengar nasehat dari saya. Tidak saya sangk dia akan berkata seperti itu.

“Astaghfirullah…, beristighfarlah ukhti atas apa barusan yang kau ucapkan. Sabarlah! Inna nasrullahi Qariib!” saya berusaha menasehatinya lagi.

“Hah, persetan dengan semua itu, buktinya mana pertolongan Allah? Mana kemudahan yang dijanjikan Allah?” katanya dengan mata memerah. Emosinya semakin tak terkendali, hamper saja itu memancing emosi saya. Tapi saya berusaha sabar menghadapinya. Sampai akhirya kami tidur membawa pikiran masing-masing.

“Benarkah yang didepan pandanganku adalah rani?” dalam hati saya bertanya. Saya usap mata berkali-kali. Dari kejauhan ia nampak menggunakan pakaian ketat dan seronok. Benar ia adalah Rani. Tapi diman agerang pakaian syar’inya kemarin. Bahkan bekasnya tidak ada bekasnya lagi. Hampir saya tak percaya yang didepan mataku adalah Rani, sahabat yang sangat kusayangi diatas jalan Allah ini. Sejak saat itu iia semakin jauh dariku.

Hari demi hari saya saksikan bagaiman Rani sekarang. Selalu terbayang semua kenagan yang pernah kami lalui. Saat-saat bermajelis bersama, saat-saat menghadiri kegiatan keislaman bersama-sama, saat-sat berdiskusi bersama, curhat… semua itu tinggal kenangan, Entah sekarang, dia sibuk dimana dan dengan siapa. Saya hanya bisa berharap, semoga Allah bisa  mengembalikan Rani ke atas jalanNya.

Ya Allah, Engkaulah Dzat yang membolak-balikkan hati. Tetapkanlah hati ini dalam agamaMu, dan berilah kekuatan agar bisa istiqamah dalam agamaMu. Dan janganlah engkau cabut hidayah ini. Karena jika Engkau mencabutnya, maka pastilah hamba menjadi orang-orang yang merugi.

  • Untuk sahabatku : Jika ukhti membaca tulisan ini, semoga ukhti mau kembali seperti dulu. Kami semua mencintaimu fillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar