Tajribah
Serapuh Hati Tanpa Keyakinan
“Assalamu’alaikum”. Kujabat tangan
akhwat karibku satu persatu. Tidak ada yang mau ketinggalankuliah jam pertama
pagi ini, takut sama dosennya yang killer. “rani kemana kok belum hadir?”,
tanyaku. Tapi tidak ada yang tahu, Biasanya jika ada yang tak hadir di kuliah
selalu memberi informasi pada yang lain.
Jam tujuh tepat, dosen masuk dan
langsung menberikan kuliah. Suasana kelas langsung berubah. Semua matapun
tertuju pada layer proyektor, meski ada yang sambil berjuang menahan kantuk.
Sementara konsentrasiku agak sedikit terganggu dengan perasaan yang terus
bertanya-tanya. Kemana Rani?
Kami adalah sembilan bersahabat.
Diatas jalanNya kami bersaudara dan bertekad menyempurnakan ketaatan .
Alhamdulillah, Allah Ta’ala menunjuki kami pada aqidah dan manhaj salafush
shalih. Kami berusaha untuk melazimkan sunnah dalam keseharian. Banyak yang
mengatakan kami ekslusif dan ekstrim. Mereka memandang sinis pada kami karena
pakaian dan cara pergaulan kami. Ada
saja sindiran yang melecehkan. “Awas, manusia kelelawar lewat!”, atau pedangnya
mana?(kura kura ninja)”, atau “ bau surga nih!”, deesbe. Ya… inilah mungkin
resikonyajika ingin berkomitmen dengan syariat. Lagian boleh jadi karena mereka
belum paham. Kami berusaha sabar dan sebisa mungkin untuk
menjelaskannyaterutama kepada mahasiswi muslim tapi lebh memeilih gaul dalam
berperilaku dan berpakaian.
Dua jam kuliah berlalu,tak banyak
waktu terbuang dari awal sampai akhir. Soal paham atau tidak itu masalah lain.
Ya… begitulah mungkin standar dan gaya
pendidikan kita. Yang penting target silabus terpenuhi. Selesai!Kelas tanpa
hati…! Mahasiswa berhamburan keluar, padahal dosen belum beranjak mengemasi
bahan kuliah yang barusan disampaikan. Seperti biasanya, kami memeilih keluar
terakhir agar tak perlu berdesakan. Setelah semua keluar, di barisan paling
depan ada sesosok wanita berjubah serba gelap lengkap dengan cadar. Mungkin ia
tadi masuk kelas agak mepet dengan waktu milai jam kuliah. Saya menduga dia
senior yang akan mengulan mata kuliah. Terdorong ingin menyapa saya
menghampirinya.
“Assalamu’alakum, Ukhti”sapaku
sambil menjabat tangannya.
“Wa’alaikumusaalam warahmatullah”,
jawabnya.
Saya mencoba memperhatikan matanya,
siapa tahu saya bisa mengenal wajah dibalik cadar itu.”Kenapa , Ukhti? Kaget
ya? Saya Rani Lho”, katanya , spontan saya kagetbukan main.
“betul kamu Rani?” tanyaku hampir
tak percaya.
Dengan lembut ia menganggukkan kapala. Saat itu saya
langsung memeluknya sambiltak hentinya mengucapkan syukur dan memuji Allah Ta’ala.
Tak terasa air mata membasahi jilbabnya. Sahabatku yang lain ikut menangis dan
memeluknya.
Rani berbisik lirih, Doakan ya Ukhti, agar saya istiqomah
selalu!”
“Amin…Insya Allah”, Jawabku.
Rani yang cukup pandai berargumen
jika berdiskusi dengan Islam, walaupun jawaban-jawabannya sering dilandasi
pendapat akalnya. Rani yang saya lihat sebagai mutarabbi salah satu liqa’ di
sebuah jamaahnya terdahulu, Rani yang diantara kami bersembilan, dialah yang
masih cenderung bebas dalam bergauldan berpakaian, Rani yang terbiasa dan
longgar dalam bergaul dengan lawan jenis, saat ini dia telah berubah. Ia telah
berubah menjadi seorang akhwat yang rajin mengikuti ta’lim dan kegiatan da’wah
lainnya.
Waktupun berlalu beberapa minggu,
Rani semakin dekat denganku. Ia sering mabit di kost ku dan sering curhat
tentang keadaanya. Kami saling menasehati satu sama lainuntuk tetap istiqamah.
Kami selalu hadir bersama dalam kajian, seminar, bedah buku, dan
kegiatan-kegiatan lainnya. Setiap ada informasi kegiatan, kami ingin selalu
menjadi yang hadir pertama dalam kegiatan tersebut. Kami seperti orang yang
kehausan ilmu, dan yang demikian ini semakin mempererat hubungan kami.
Selan beberapa minggu kemudian,
Rani tambah sering menginap di kost saya. Rani dating dengan membawa cerita-cerita
dan keadaanya sejak ia . Ternyata keluarga dan kerabatnya menolak keras
pilihannya. Menurut mereka, pakaian seperti itu dengan apa yang mereka sebut
dengan “teroris”. Sejak keluarganya tahu, semua biaya hidup dan keluarganya
dihentikan.” Sabar ya Ukhti, kemudahan pasti kan dating. Ujian tak selamanya. Hanya
sekejap kemudian kan
lewat, jika saja kita tetap bertahan. Jangan pernah menyerah!”, saya mencoba
menasehatinya. Untuk beberapa hari kemudian Rani masih bertahan.
Pada malam berikutnya Rani datang
lagi ke kost ku dan menyatakan ingin tinggal di kostku untuk beberapa hari. Ia
mengatakan sudah tidak punya uang lagi. Jangankan untik kuliah, sedangkan untuk
makan saja tiada tersisa. Saya tidak menyangka ada orang tua setega itu.
“Untuk apa saya berpakaian begini,
kalau saya harus mati kelaparan. Lagian gara-gara pakaian ini, saya tidak bisa
pergi ke tempat-tempat yang saya senagi, pergaulanku jadi terbatas, kuliahku
terhambat, dan segala kesulitan yang harus saya tanggung!”jawabnya setelah
mendengar nasehat dari saya. Tidak saya sangk dia akan berkata seperti itu.
“Astaghfirullah…, beristighfarlah
ukhti atas apa barusan yang kau ucapkan. Sabarlah! Inna nasrullahi Qariib!”
saya berusaha menasehatinya lagi.
“Hah, persetan dengan semua itu,
buktinya mana pertolongan Allah? Mana kemudahan yang dijanjikan Allah?” katanya
dengan mata memerah. Emosinya semakin tak terkendali, hamper saja itu memancing
emosi saya. Tapi saya berusaha sabar menghadapinya. Sampai akhirya kami tidur
membawa pikiran masing-masing.
“Benarkah yang didepan pandanganku
adalah rani?” dalam hati saya bertanya. Saya usap mata berkali-kali. Dari
kejauhan ia nampak menggunakan pakaian ketat dan seronok. Benar ia adalah Rani.
Tapi diman agerang pakaian syar’inya kemarin. Bahkan bekasnya tidak ada
bekasnya lagi. Hampir saya tak percaya yang didepan mataku adalah Rani, sahabat
yang sangat kusayangi diatas jalan Allah ini. Sejak saat itu iia semakin jauh
dariku.
Hari demi hari saya saksikan
bagaiman Rani sekarang. Selalu terbayang semua kenagan yang pernah kami lalui.
Saat-saat bermajelis bersama, saat-saat menghadiri kegiatan keislaman
bersama-sama, saat-sat berdiskusi bersama, curhat… semua itu tinggal kenangan,
Entah sekarang, dia sibuk dimana dan dengan siapa. Saya hanya bisa berharap, semoga
Allah bisa mengembalikan Rani ke atas
jalanNya.
Ya Allah, Engkaulah Dzat yang
membolak-balikkan hati. Tetapkanlah hati ini dalam agamaMu, dan berilah
kekuatan agar bisa istiqamah dalam agamaMu. Dan janganlah engkau cabut hidayah
ini. Karena jika Engkau mencabutnya, maka pastilah hamba menjadi orang-orang
yang merugi.
- Untuk sahabatku : Jika ukhti membaca tulisan ini, semoga ukhti mau kembali seperti dulu. Kami semua mencintaimu fillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar