===========================================================================================================================

Kamis, 07 Juni 2012


TAJRIBAH

DOA KERINDUAN
 
Malam beringsut kelam. Kucoba benamkan wajah di balik bantal, namun sia-sia. Tatapanku menerawang ke langit-langit, kuhela nafas panjangmencoba bebaskan beban jiwaku. Aku teringat abahku tersayang.

Aku anak kelima dari sembilan bersaudara. Banyak saudara membuatku berlimpah kasih saying, lebih-lebih dari abahku.

Setelah lulus smp kuutarakan maksudku bahwa aku ingin sekolah di luar kota, ke sebuah pesantren di Jepara. Sebenarnya abah kurang sreg jika aku jauh dari keluarga. Namun akhirnya aku diizinkannya.

Alhamdulillah setelah beberapa tahun mondok, aku merasa mendapatkan banyak ilmu. Aku jadi tahu kebiasaan orang-orang di kampungku, termasuk abah, adalah bidah. Bahkah abah menjadi pemukanya. Namun berdakwak kepada orang tua tidak semudah yang kubayangkan.

Kutulis surat, memberikan nasehatabah dan keluarga agar meninggalkan kebiasaan bidahnya. Seiring itu pula, sampailah kabar bahwa abah sering sakit-sakitan karena saraf tulang. Sedih, namun ada baiknya. Selama istirahat karena sakit abah jarang menghadiri acara-acara bidah. Beliau lebih banyak membaca Quran.

Setelah lulus, aku banyak menemani abah, umi, dan adik-adik. Rasa bosan pun menghampiri. Meskisedikit ragu, kuutarakan maksudku untuk mengikuti kakakku di Jakarta. Dengan banyak pertimbangan abahpun mengijinkan. Alhamdulillah aku langsung dapat pekerjaan di komplek orang berduit.

Suatu sore ada telepon dari rumah. Abah kambuh, dirawat di rumah sakit dan akan dioperasi. Aku diminta pulang karena abah tak mau dioperasi jika aku tak mendampinginya. Aku sedih sekaligus terharu… ya Allah begitu berartikah diriku bagi abah. Namun tak lama kemudian, ada kabar bahwa abah tak jadi dioperasi. Keadaanyya mulai membaik. Menurut dokter cukup obat jalan saja.

Lebaran tahun ini tak ada rencana pulang. Kakak tak mudik sehingga tak ada mahram untuk menyertaiku. Sebenarnya abah ingin aku pulang. Akupun hanya bisa mengirim sedikit uang untuk abah dan umi lebaran. Hatiku bangga meski hanya sedikit , aku bisa sedikit meringankan beban orang tua. Baru kali ini aku jalani lebaran jauh dari keluarga.

Waktu terus berlalu. Saat itu Rabu Malam. Aku dapat telepon dari umi, katanya abah sedang kritis di rumah sakit. Dia menanyakanku terus. Kamipun pulang. Setelah perjalanan lebih setengah hari, alhamdulillah, kami sampai di kampong. Orang-oarng menyambutku dengan penuh harap.

“Cepat nduk abahmu menanyakanmu terus!”, seru beberapa tetangga dekatku. Aku terkejut ketika melihat mata saudar-saudaraku bengkak-bengkak karena menangis. Nduk, cepat ke rumah sakit saja. Abah menanyakanmu terus !” kata mereka.

Malam itu, aku langsung ke rumah sakit bersama kakak. Ada sesal dalam hatiku, kawatir dan takut kehilangan abahku. Hujan menemani perjalanan kami, seolah mewakili gemuruh hatiku. Sepanjang perjalanan kakak banyak berpesan agar aku tabah menghadapi segala sesuatu yang terjadi.

Degub jantungku makin tak terkendali sesampainya di rumah sakit. Tiba di pintu ruang perawatan abah,  aku tak kuasa membendung luapan air mata dan laupan rasa rinduku pada abah. Kupeluk, kuciumi  abah yang terkujur lemah. Jasadnya kurus kering bagai tulang terbungkus kulit. Abahpun membalas pelukanku erat, seolah ingin melepas kerinduannya padaku. Abah berpesan agar aku tabah bila abah di panggil ke hadiratNya. Abah memintaku selalu mendoakannya.

Aku tak kuasa melihat begitu banyak selang yang terpasang orang yang paling mengasihiku selama ini. Aku tak percaya, apa yang kutakutkan selama ini terjadi. Aku belum siap  berpisah dengan abah.

Kucoba kuatkan hati sembari duduk di samping abah dan memijitnya. Rasanya ingin kubayar semua kasih sayang abah selama ini. “ Abah sabar ya bah!” hanya itu yang mampu kuucapkan.

Jam dua dini hari, sepinya malam itu, tak seperti hatiku yang gaduh tak karuan. Keadaan abah makin tak terkendali. Semua selang yang terpasang beliau lepas sendiri. “ Kenapa abah lepas selangnya?”, tanyaku sambil menahan iba. “abah sudah ndak kuat nduk”,
Jawab abah dengan nada berat. “Sabar ya bah…!”, kali ini tangisaku tak tertahan lagi. Kusaksikan wajah abah kembali cerah.

Kubimbing abah berdzikir. Subhanallah , begitu lancer abah berdzikir. Di sela itu abah ingin pulang ke rumah saja. Saat adzan subuh berkumandang, abah masih mendengarkannya dengan baik. “Adzan…adzan…aku shalat ya..?” ucap abah. Abah terdiam untuk shalat.

Pukul setengah enam pagi, abah pulang atas permintaanya sendiri. Sepanjang perjalanan, abah masih fasih mengucapkan “Laa illaha illallah”. Tapi suara itu berangsur melemah. “Yaa Allah. Apa yang terjadi pada abah, berikan yang terbaik buat abah” doaku sesampainya di rumah, abah dibaringkan diatas tempat tidurnya dikamarnya. Nafasnya makin tak teratur. Tak tega aku melihatnya. Aku bermaksud keluar kamar. Namun baru beberapa langkah, kudengar inna lillahi wa inna lillahi Raji’un.
Tepat jam enam pagi abah dipanggil ke hadirat Allah. Hatiku layu selayu-layunya.”Apa abah…?abah…?”tak mampu kuteruskan kata-kataku. Air mataku tak tertahan bersama isak tangis yang kian meninggi….”Sabar nduk relakan abahmu kembali disisi Allah. Abahmu meninggal dalam keadaan baik, di hari baik lagi”, orang-orang berusaha  menguatkan ketabahanku. Sedikit demi sedikit aku menyadari, ini bukan mimpi. Kutenangkan hati , berdo’a untuk abah tersayang.

Jam sembilan pagi, jenazah abah siap dimakamkan. Banyak yang mengantarkan kepergian abah ke peristirahatan terakhirnya. Kini tak ada lagi abah yang menyayangiku, tak ada lagi abah yang memanjakanku, tak ada lagi abah yang merindukanku. Selamat jalan abah…semoga Allah menrima dan memuliakankamu di sisiNya.

Sesal mulai mengusikku. Kenapa lebaran kemarin aku tak pulang. Padahal kata umi sejak lebaran kemarin sampai abah sakit slalu menanti kepulanganku. Aku menyesal tidak bisa mengobati kangen abah kepadaku. Sebelum meninggal abah berwasiat puasanya kurang satu hari dan dan qira’atil Qurannya baru sampai juz dua puluh, kami dimanta untuk melengkapinya. Beliau juga tidak mau jika sudah meninggal dibuatkan acara “tahlilan”. Ternyata selama sakit abah banyak membaca. Abah menolak hadir ke acara-acara yang tidak ada dasar syar’inya. Abahpun tak pernah meninggalkan shalat malam.

Aku makin aikhlas melepaskan abah. Rasulullah pernah bersabda “Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka hamba itu akan diperalatnya.”Tanya salah seorang sahabat?”Diberikanya taufik untuk melakukan amal shalihsebelum maut, lalu dicabut nyawanya.”(HR. Ahmad, Hakim, Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Anas)

Ya Allah semoga engkau terima amal shalih abahdan engkau ampuni segala dosanya. Berikanlah pertolongan untukku agar tak pernah lupa mendoakannya. Amin!

Putri abah, Patie   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar