TAJRIBAH
DOA KERINDUAN
Malam beringsut kelam. Kucoba benamkan wajah di balik
bantal, namun sia-sia. Tatapanku menerawang ke langit-langit, kuhela nafas
panjangmencoba bebaskan beban jiwaku. Aku teringat abahku tersayang.
Aku anak kelima dari sembilan bersaudara.
Banyak saudara membuatku berlimpah kasih saying, lebih-lebih dari abahku.
Setelah lulus smp kuutarakan
maksudku bahwa aku ingin sekolah di luar kota,
ke sebuah pesantren di Jepara. Sebenarnya abah kurang sreg jika aku jauh dari
keluarga. Namun akhirnya aku diizinkannya.
Alhamdulillah setelah beberapa
tahun mondok, aku merasa mendapatkan banyak ilmu. Aku jadi tahu kebiasaan
orang-orang di kampungku, termasuk abah, adalah bidah. Bahkah abah menjadi
pemukanya. Namun berdakwak kepada orang tua tidak semudah yang kubayangkan.
Kutulis surat, memberikan nasehatabah dan keluarga
agar meninggalkan kebiasaan bidahnya. Seiring itu pula, sampailah kabar bahwa
abah sering sakit-sakitan karena saraf tulang. Sedih, namun ada baiknya. Selama
istirahat karena sakit abah jarang menghadiri acara-acara bidah. Beliau lebih
banyak membaca Quran.
Setelah lulus, aku banyak menemani
abah, umi, dan adik-adik. Rasa bosan pun menghampiri. Meskisedikit ragu,
kuutarakan maksudku untuk mengikuti kakakku di Jakarta. Dengan banyak pertimbangan abahpun
mengijinkan. Alhamdulillah aku langsung dapat pekerjaan di komplek orang
berduit.
Suatu sore ada telepon dari rumah.
Abah kambuh, dirawat di rumah sakit dan akan dioperasi. Aku diminta pulang
karena abah tak mau dioperasi jika aku tak mendampinginya. Aku sedih sekaligus
terharu… ya Allah begitu berartikah diriku bagi abah. Namun tak lama kemudian,
ada kabar bahwa abah tak jadi dioperasi. Keadaanyya mulai membaik. Menurut
dokter cukup obat jalan saja.
Lebaran tahun ini tak ada rencana
pulang. Kakak tak mudik sehingga tak ada mahram untuk menyertaiku. Sebenarnya
abah ingin aku pulang. Akupun hanya bisa mengirim sedikit uang untuk abah dan
umi lebaran. Hatiku bangga meski hanya sedikit , aku bisa sedikit meringankan
beban orang tua. Baru kali ini aku jalani lebaran jauh dari keluarga.
Waktu terus berlalu. Saat itu Rabu
Malam. Aku dapat telepon dari umi, katanya abah sedang kritis di rumah sakit.
Dia menanyakanku terus. Kamipun pulang. Setelah perjalanan lebih setengah hari,
alhamdulillah, kami sampai di kampong. Orang-oarng menyambutku dengan penuh
harap.
“Cepat nduk abahmu menanyakanmu
terus!”, seru beberapa tetangga dekatku. Aku terkejut ketika melihat mata
saudar-saudaraku bengkak-bengkak karena menangis. Nduk, cepat ke rumah sakit
saja. Abah menanyakanmu terus !” kata mereka.
Malam itu, aku langsung ke rumah
sakit bersama kakak. Ada
sesal dalam hatiku, kawatir dan takut kehilangan abahku. Hujan menemani
perjalanan kami, seolah mewakili gemuruh hatiku. Sepanjang perjalanan kakak
banyak berpesan agar aku tabah menghadapi segala sesuatu yang terjadi.
Degub jantungku makin tak
terkendali sesampainya di rumah sakit. Tiba di pintu ruang perawatan abah, aku tak kuasa membendung luapan air mata dan
laupan rasa rinduku pada abah. Kupeluk, kuciumi
abah yang terkujur lemah. Jasadnya kurus kering bagai tulang terbungkus
kulit. Abahpun membalas pelukanku erat, seolah ingin melepas kerinduannya
padaku. Abah berpesan agar aku tabah bila abah di panggil ke hadiratNya. Abah
memintaku selalu mendoakannya.
Aku tak kuasa melihat begitu banyak
selang yang terpasang orang yang paling mengasihiku selama ini. Aku tak
percaya, apa yang kutakutkan selama ini terjadi. Aku belum siap berpisah dengan abah.
Kucoba kuatkan hati sembari duduk
di samping abah dan memijitnya. Rasanya ingin kubayar semua kasih sayang abah
selama ini. “ Abah sabar ya bah!” hanya itu yang mampu kuucapkan.
Jam dua dini hari, sepinya malam
itu, tak seperti hatiku yang gaduh tak karuan. Keadaan abah makin tak
terkendali. Semua selang yang terpasang beliau lepas sendiri. “ Kenapa abah
lepas selangnya?”, tanyaku sambil menahan iba. “abah sudah ndak kuat nduk”,
Jawab abah dengan nada berat. “Sabar ya bah…!”, kali ini
tangisaku tak tertahan lagi. Kusaksikan wajah abah kembali cerah.
Kubimbing abah berdzikir.
Subhanallah , begitu lancer abah berdzikir. Di sela itu abah ingin pulang ke
rumah saja. Saat adzan subuh berkumandang, abah masih mendengarkannya dengan
baik. “Adzan…adzan…aku shalat ya..?” ucap abah. Abah terdiam untuk shalat.
Pukul setengah enam pagi, abah
pulang atas permintaanya sendiri. Sepanjang perjalanan, abah masih fasih
mengucapkan “Laa illaha illallah”. Tapi suara itu berangsur melemah. “Yaa
Allah. Apa yang terjadi pada abah, berikan yang terbaik buat abah” doaku sesampainya
di rumah, abah dibaringkan diatas tempat tidurnya dikamarnya. Nafasnya makin
tak teratur. Tak tega aku melihatnya. Aku bermaksud keluar kamar. Namun baru
beberapa langkah, kudengar inna lillahi wa inna lillahi Raji’un.
Tepat jam enam pagi abah dipanggil ke hadirat Allah. Hatiku
layu selayu-layunya.”Apa abah…?abah…?”tak mampu kuteruskan kata-kataku. Air
mataku tak tertahan bersama isak tangis yang kian meninggi….”Sabar nduk relakan
abahmu kembali disisi Allah. Abahmu meninggal dalam keadaan baik, di hari baik
lagi”, orang-orang berusaha menguatkan
ketabahanku. Sedikit demi sedikit aku menyadari, ini bukan mimpi. Kutenangkan
hati , berdo’a untuk abah tersayang.
Jam sembilan pagi, jenazah abah
siap dimakamkan. Banyak yang mengantarkan kepergian abah ke peristirahatan
terakhirnya. Kini tak ada lagi abah yang menyayangiku, tak ada lagi abah yang
memanjakanku, tak ada lagi abah yang merindukanku. Selamat jalan abah…semoga
Allah menrima dan memuliakankamu di sisiNya.
Sesal mulai mengusikku. Kenapa
lebaran kemarin aku tak pulang. Padahal kata umi sejak lebaran kemarin sampai
abah sakit slalu menanti kepulanganku. Aku menyesal tidak bisa mengobati kangen
abah kepadaku. Sebelum meninggal abah berwasiat puasanya kurang satu hari dan
dan qira’atil Qurannya baru sampai juz dua puluh, kami dimanta untuk
melengkapinya. Beliau juga tidak mau jika sudah meninggal dibuatkan acara
“tahlilan”. Ternyata selama sakit abah banyak membaca. Abah menolak hadir ke
acara-acara yang tidak ada dasar syar’inya. Abahpun tak pernah meninggalkan
shalat malam.
Aku makin aikhlas melepaskan abah.
Rasulullah pernah bersabda “Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka
hamba itu akan diperalatnya.”Tanya salah seorang sahabat?”Diberikanya taufik
untuk melakukan amal shalihsebelum maut, lalu dicabut nyawanya.”(HR. Ahmad,
Hakim, Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Anas)
Ya Allah semoga engkau terima amal
shalih abahdan engkau ampuni segala dosanya. Berikanlah pertolongan untukku
agar tak pernah lupa mendoakannya. Amin!
Putri abah, Patie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar