===========================================================================================================================

Senin, 28 Mei 2012


BIDAH
Melafadzkan Niat
 

Sudah menjadi kesepakatan para ulama, bahwa niatmerupan syarat dalam ibadah, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikanketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama yang lurus. “ (QS. Al Bayyinah : 06)
Dan Rasulullah bersabda :
Sesungguhnya semua perbuatan itu dengan niat dan setiap orang akan memperoleh (balasan) sesuai niatnya “(hR. Bukhari-Muslim)

Mengeraskan Niat :

Sebagian orang meyakini bahwa niat tidak afdhal jika tidak dilafadzkan, bahkan kalau perlu dengan keras. Biasanya dilakukan ketika memulai shalat, wudhu, shaum, dan ibadah lainnya. Padahal, sebenarnya mengeraskan niat tidak pernah diwajibkan atau disunahkan. Bahkan para ulam sepakat hal ini adalah bidah yang menyelisihi sunnah. Seandainya dilakukan dengan keyakinan bahwa ia termasuk ajaran yang benar, maka pelakunya telah sesat dan menyesatkan dan pantas mendapat hukuman ta’zir.

Ketika Imam Ahmad ditanya Abu Dawud, “Apakah seorang yang akan shalat mengucapakan sesuatu sebelum shalat?”.jawabnya, “Tidak!.”

Syakhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah ditanya, apakah ada ucapan niat ketika masuk dalam ibadah shalatdan yang lainnya, sebagaimana perkataan seseorang, , “Saya niat wudhu…”, atau saya niat shalat…”, wajibkah hukumya?

Beliau menjawab, “Alhamdulillah, menurut kesepakatan para ulama, niat dalam bersuci, shiyam, zakat, dan semua macam ibadah tidak membutuhkan pengucapan dengan lisan, karena tempat niat adalah hati bukan lisan. Seandanya lafadz lisan itu tidak sesuai dengan hati, maka yang dihukumi adalah yang diniatkan dalam hati bukan lisan. Dalam hal ini tidak ada satu ulama pun yang menyelisihinya, kecuali sebagian ulama muta’akhirin dari sahabat Imam As Syafi’i telsh menyelisihinya, walau telah ditentang oleh ulama lain dari madzhabnya.

Kekeliruan ini disebabkan kesalahpahaman atas perkataan Imam Syafi’i, bahwa shalat harus diucapkan di permulaan shalat, dan bukan lafadz niat, maka sahabat Imam Syafi’i menyalahkan pendapat tersebut.

Bidah Hasanah?

Betulkah bila seseorang menguatkan pendapat ini dengan dalih bidah hasanah (bidah yang baik)? Dia katakan bahwa hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, tapi juga tidak pernah dilarang dan shalatpun tidak akan batal karena mengeraskan niat. Dan lebih dari itu, hal ini termasuk bidah hasanah.

Mereka juga berdalih dengan shalat tarawih dengan shalat tarawih. Rasulullah tidak melakukan jama’ah, tapi tidak juga melarang berjamaah shalat tarawih, lalu apakah sosok Umar bin Khatab yang telah mengumpulkan manusia dan menyarankan jama’ah dalam tarawih kita katakana mubtadi’(pelaku bidah), apakah snah khulafaur rasyidin kita katakana bidah?

Dalam hal ini, dengan tegas syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantahnya, “ Mengeraskan niat dalam shalat masuk kategori bidah sayyi’ah (bidah yang buruk) bukan bidah hasanah. Maka barang siapa yang mengatakan demikian, berarti telah menyelisihi sunnah Rasulullah dan kesepakatan para ulama. Dan orang yang seperti ini harus diminta bertobat, kalau tidak dia harus doberi balasan yang setimpal.

Tidak benar kalau hal seperti ini termasuk bidah hasanah, demikian juga dengan apa yang telah dilakukan sebagian manusia; melakukan adzan di dua hari ied, walaupun adzan itu termasuk dari mengingat Allah. Demikian juga kebiasaan manusia berkumpul di hari-hari tertentu; di awal bulan Rajab, di awal hari Jumat, juga di malam pertengahan Sya’ban.

Yang Diperselisihkan 

Yang masih diperselisihkan para ulama adalah; apakah melafadzkan niat dengan sembunyi-sembunyi disunahkan? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Sekelompok dari sahabat Abu hanifah, Asy Syafi’I, dan Ahmad berpendapat hal tersebut adalah sunnah karena bisa menguatkan niat dalam hati. Sedangkan sekelompok dari sahabat Imam Malik, Ahmad dan lainnya. Berpendapat melafadzkan niat tidak disunahkan, karena hal tersebut adalah bidah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah maupun para sahabat, dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah kepada umatnya.

Pendapat kedua inilah yang menurut Shakhul Islam Ibnu Taimiyah lebih benar. Setidaknya melafadzkan niat memiliki kekurangan dalam dua hal : dien dan akal. Dalam sisi dien, karena itu adalah merupakan bidah, dan dari sisi akal, karena mengucapkan setiap perbuatan yang akan dilakukan adalah tindakan bodoh. Sama halnya jika setiap hendak makan, seseorang mengucapkan “Saya niat meletakkan tangan diatas bejana karena ingin mengambil makanan darinyalalu akan saya letakkan dalam mulut dan ditelan hingga kenyang”.

Pun demikian jika hendak shalat, dia mengatakan, “ Saya berniat melakukan shalat wajib ini, tepat pada waktunya, sebanyak empat rakaat dengan berjamaah”. Tindakan seperti itu adalah tindakan yang bodoh.

Niat tidaklah perlu di lafadzkan, karena niat itu mudah diketahui. Ketika seorang hamba telah mengetahui apa yang akan dikerjakannya, secara otomatis dia akan meniatkannya. Tidak mungkin seseorang mengerjakan sebuah perbuatan dengan sadar tanpa ada niat terlabih dahulu. Wallahul Muwafiq.

Referensi

-Al Amru biil Ittiba’ wa Nahyu Anil Ibtida’, Jalaludin Asyuyuthi, Daru Ibnu Qoyyim, Riyadh
-Mu’jamul Bida’, Ra’id bin Shabri bin Abi Al Qamah
-Syarhul Umdah fie fiqh, Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, cet I, Maktabah Abikan Riyadh
-Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Ibnu Ruusy hafidz, Darul Fiqr Beirut.
-Majmu fattawa, Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah.
-Al Insaf fi ma’rifah Rajih min Khilaf, Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Daru Ihyai Turats, Beirut.
-Kasyfu Al Qanna’, Mansur bin Ynus bin Idris Al bahuti, Darl Fiqr, Beirut.

                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar