BIDAH
Melafadzkan Niat
Sudah menjadi kesepakatan para
ulama, bahwa niatmerupan syarat dalam ibadah, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikanketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama yang lurus. “ (QS.
Al Bayyinah : 06)
Dan Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya semua perbuatan itu dengan niat dan setiap
orang akan memperoleh (balasan) sesuai niatnya “(hR. Bukhari-Muslim)
Mengeraskan Niat :
Sebagian orang meyakini bahwa niat
tidak afdhal jika tidak dilafadzkan, bahkan kalau perlu dengan keras. Biasanya
dilakukan ketika memulai shalat, wudhu, shaum, dan ibadah lainnya. Padahal,
sebenarnya mengeraskan niat tidak pernah diwajibkan atau disunahkan. Bahkan
para ulam sepakat hal ini adalah bidah yang menyelisihi sunnah. Seandainya
dilakukan dengan keyakinan bahwa ia termasuk ajaran yang benar, maka pelakunya
telah sesat dan menyesatkan dan pantas mendapat hukuman ta’zir.
Ketika Imam Ahmad ditanya Abu
Dawud, “Apakah seorang yang akan shalat mengucapakan sesuatu sebelum
shalat?”.jawabnya, “Tidak!.”
Syakhul Islam Ibnu Taimiyah juga
pernah ditanya, apakah ada ucapan niat ketika masuk dalam ibadah shalatdan yang
lainnya, sebagaimana perkataan seseorang, , “Saya niat wudhu…”, atau saya niat
shalat…”, wajibkah hukumya?
Beliau menjawab, “Alhamdulillah,
menurut kesepakatan para ulama, niat dalam bersuci, shiyam, zakat, dan semua
macam ibadah tidak membutuhkan pengucapan dengan lisan, karena tempat niat
adalah hati bukan lisan. Seandanya lafadz lisan itu tidak sesuai dengan hati,
maka yang dihukumi adalah yang diniatkan dalam hati bukan lisan. Dalam hal ini
tidak ada satu ulama pun yang menyelisihinya, kecuali sebagian ulama
muta’akhirin dari sahabat Imam As Syafi’i telsh menyelisihinya, walau telah ditentang
oleh ulama lain dari madzhabnya.
Kekeliruan ini disebabkan
kesalahpahaman atas perkataan Imam Syafi’i, bahwa shalat harus diucapkan di
permulaan shalat, dan bukan lafadz niat, maka sahabat Imam Syafi’i menyalahkan
pendapat tersebut.
Bidah Hasanah?
Betulkah bila seseorang menguatkan
pendapat ini dengan dalih bidah hasanah (bidah yang baik)? Dia katakan
bahwa hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, tapi juga tidak pernah
dilarang dan shalatpun tidak akan batal karena mengeraskan niat. Dan lebih dari
itu, hal ini termasuk bidah hasanah.
Mereka juga berdalih dengan shalat
tarawih dengan shalat tarawih. Rasulullah tidak melakukan jama’ah, tapi tidak
juga melarang berjamaah shalat tarawih, lalu apakah sosok Umar bin Khatab yang
telah mengumpulkan manusia dan menyarankan jama’ah dalam tarawih kita katakana
mubtadi’(pelaku bidah), apakah snah khulafaur rasyidin kita katakana bidah?
Dalam hal ini, dengan tegas
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantahnya, “ Mengeraskan niat dalam shalat
masuk kategori bidah sayyi’ah (bidah yang buruk) bukan bidah hasanah. Maka
barang siapa yang mengatakan demikian, berarti telah menyelisihi sunnah
Rasulullah dan kesepakatan para ulama. Dan orang yang seperti ini harus diminta
bertobat, kalau tidak dia harus doberi balasan yang setimpal.
Tidak benar kalau hal seperti ini
termasuk bidah hasanah, demikian juga dengan apa yang telah dilakukan sebagian
manusia; melakukan adzan di dua hari ied, walaupun adzan itu termasuk dari
mengingat Allah. Demikian juga kebiasaan manusia berkumpul di hari-hari
tertentu; di awal bulan Rajab, di awal hari Jumat, juga di malam pertengahan
Sya’ban.
Yang Diperselisihkan
Yang masih diperselisihkan para
ulama adalah; apakah melafadzkan niat dengan sembunyi-sembunyi disunahkan?
Mengenai hal ini ada dua pendapat. Sekelompok dari sahabat Abu hanifah, Asy
Syafi’I, dan Ahmad berpendapat hal tersebut adalah sunnah karena bisa
menguatkan niat dalam hati. Sedangkan sekelompok dari sahabat Imam Malik, Ahmad
dan lainnya. Berpendapat melafadzkan niat tidak disunahkan, karena hal tersebut
adalah bidah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah maupun para sahabat, dan
tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah kepada umatnya.
Pendapat kedua inilah yang menurut
Shakhul Islam Ibnu Taimiyah lebih benar. Setidaknya melafadzkan niat memiliki
kekurangan dalam dua hal : dien dan akal. Dalam sisi dien, karena itu adalah
merupakan bidah, dan dari sisi akal, karena mengucapkan setiap perbuatan yang
akan dilakukan adalah tindakan bodoh. Sama halnya jika setiap hendak makan,
seseorang mengucapkan “Saya niat meletakkan tangan diatas bejana karena ingin
mengambil makanan darinyalalu akan saya letakkan dalam mulut dan ditelan hingga
kenyang”.
Pun demikian jika hendak shalat,
dia mengatakan, “ Saya berniat melakukan shalat wajib ini, tepat pada waktunya,
sebanyak empat rakaat dengan berjamaah”. Tindakan seperti itu adalah tindakan
yang bodoh.
Niat tidaklah perlu di lafadzkan, karena niat itu mudah
diketahui. Ketika seorang hamba telah mengetahui apa yang akan dikerjakannya,
secara otomatis dia akan meniatkannya. Tidak mungkin seseorang mengerjakan
sebuah perbuatan dengan sadar tanpa ada niat terlabih dahulu. Wallahul Muwafiq.
Referensi
-Al Amru biil Ittiba’ wa
Nahyu Anil Ibtida’, Jalaludin Asyuyuthi, Daru Ibnu Qoyyim, Riyadh
-Mu’jamul Bida’, Ra’id bin
Shabri bin Abi Al Qamah
-Syarhul Umdah fie fiqh,
Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, cet I, Maktabah Abikan Riyadh
-Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtasid, Ibnu Ruusy hafidz, Darul Fiqr Beirut.
-Majmu fattawa, Ahmad bin Abdul
Halim bin Taimiyah.
-Al Insaf fi ma’rifah Rajih
min Khilaf, Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Daru Ihyai Turats, Beirut.
-Kasyfu Al Qanna’, Mansur bin
Ynus bin Idris Al bahuti, Darl Fiqr, Beirut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar